Tarif KRL Jabodetabek Berbasis NIK, Solutifkah?

Tarif KRL Jabodetabek Berbasis NIK, Solutifkah?

Oleh: Aniza Rizky, Mahasiswi Universitas Indonesia

Masyarakat kembali dihebohkan dengan dinamika politik di Indonesia, yaitu wacana pemerintah untuk merubah tarif kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek berbasis NIK yang diperkirakan bakal berujung pada kenaikan tarif KRL. Perihal rencana perubahan ini terlampir pada Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025. Dikutip dari dokumen tersebut, anggaran belanja Subsidi PSO tahun anggaran 2025 PT Kereta Api Indonesia adalah sebesar Rp4.797,1 miliar dengan beberapa perbaikan antara lain, pada poin satu, penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek. Namun, tarif KRL jabodetabek berbasis NIK: solutifkah?

Menurut Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, dalam Tempo (29/08/2024) perubahan Tarif KRL ini bakal berujung pada kenaikan tarif KRL yang malah berpotensi membebani kondisi ekonomi masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah.

Wacana perubahan ini juga menuai protes masyarakat di media sosial, khususnya pengguna harian KRL Jabodetabek, commuters sebutannya. Masyarakat menyayangkan pemerintah lebih fokus untuk menaikkan tarif dibandingkan memperbaiki fasilitas KRL, semisal menambah gerbong, memperbaiki sistem pendingin, memperbaiki fasilitas tangga dan peron di Statiun Transit Manggarai, serta menyediakan lift dan eskalator di seluruh stasiun.

Di antara para penumpang KRL ada kaum ibu yang membawa anak kecil, ibu hamil, lansia yang kondisi fisiknya sudah lemah, bahkan orang-orang yang sedang berobat ke Rumah Sakit Pusat RSCM. Ada, ada pula para pedagang yang membawa barang berat dan para pekerja yang membutuhkan waktu cepat. Setiap hari mereka harus menerima padatnya kondisi kereta, terutama pada jam sibuk. Pemerintah wajib menyediakan fasilitas transportasi umum yang layak untuk mereka. Fasilitas transportasi umum yang tidak layak, seperti rusaknya eskalator dan padatnya kereta, bukan hanya menyulitkan, tapi juga dapat membahayakan.

BACA JUGA:  Solusi Tuntaskan Gelombang PHK

Kegagalan pemerintah dalam menyentuh persoalan ini dan malah membebani masyarakat dengan wacana perubahan tarif, yang kemungkinan akan berubah pada kenaikan, memperlihatkan ketakseriusan pemerintah dalam mengurusi masyarakat. Hal ini adalah wajar terjadi di dalam sistem kehidupan kapitalisme sekularisme. Negara menyerahkan tata kelola transportasi publik kepada operator atau swasta, dalam hal ini PT KAI maupun anak perusahaannya, PT KCI. Sementara itu, tujuan didirikannya operator bukanlah untuk mengurusi masyarakat. Operator bertujuan untuk memperoleh keuntungan materi semaksimal mungkin. Lantas, bagaimana mungkin masyarakat bisa berharap mendapat layanan optimal dari operator?

Membiarkan masyarakat dalam kesulitan mendapatkan layanan transportasi yang layak menunjukkan pemerintah tidak memiliki visi riayah (kepengurusan). Tentunya fungsi hilang akibat penerapan kapitalisme sekulerisme. Lagi-lagi pemerintah telah gagal memberikan pelayanan bagi masyarakat, khususnya layanan transportasi umum.

BACA JUGA:  Harga Beras Makin Mahal, Petani Untung?

Bagaimana Islam memandang Sistem Transportasi

Islam adalah agama yang sempurna, diatur di dalamnya bagaimana kewajiban penguasa dalam me-riayah (mengurusi) masyarakat, termasuk dalam memberikan pelayanan transportasi umum. Islam memandang pemerintah sebagai pihak yang me-riayah dan bertanggung jawab atas rakyatnya. “Pemerintah adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari)

Pemerintah memiliki kewenangan penuh dan bertanggung jawab langsung untuk memenuhi kebutuhan masyarakat berupa transportasi umum, khususnya KRL. Tanggung jawab ini tidak diserahkan kepada swasta atau operator dapat menghilangkan fungsi negara sebagai pengurus dan penanggungjawab urusan rakyatnya.

Dalam pemenuhan kebutuhan transportasi umum tidak boleh ada bahaya (dharar), seperti masalah kesehatan dan keselamatan penumpang, kecelakaan operasional, kesulitan evakuasi, kejahatan dan pelecahan, termasuk stres dan kecemasan yang menimpa masyarakat pengguna transportasi.

Pemerintah seharusnya takut membahayakan masyarakat pengguna KRL, seperti kepadatan kereta yang dapat mengancam nyawa. Di dalam naungan Islam, penguasa akan takut apabila ada bahaya yang terjadi dalam lingkup kekuasaannya, sebagaimana Khalifah Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu yang khawatir apabila ada seekor keledai tergelincir lalu jatuh ke jurang akibat jalan yang dilewati rusak dan berlobang.

BACA JUGA:  Solusi Tuntaskan Gelombang PHK

Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu berkata, “Seandainya seekor keledai terperosok di Kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah Ta’ala, “Mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya?”

Pun perihal dana, anggaran transportasi umum dalam sistem Islam bersifat mutlak, artinya, ada atau tidak ada dana pada kas negara untuk pembiayaan transportasi publik, yang ketiadaannya berdampak kerusakan bagi masyarakat, maka wajib diadakan oleh pemerintah. Dalam Sistem Islam, pemerintah wajib mengelola berbagai kekayaannya secara benar sesuai syariat Islam sehingga memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk menjalankan fungsi dan tanggung jawab pentingnya, termasuk memberikan pelayanan transportasi umum yang layak.

Tidakkah kita merindukan penguasa yang khawatir melakukan ketidakadilan pada wilayah kekuasaannya? Pemimpin semacam ini hanya akan bisa terwujud dalam sistem yang berlandaskan Islam.

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” Terjemahan Q.S. Al-Anbiya: 107.[]

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui WhatsApp di 081281731818

Pos terkait