DEPOKPOS – Kampanye merupakan tahap penting dalam proses pemilu, di mana peserta pemilu menyampaikan visi, misi, program, dan citra diri mereka untuk meyakinkan pemilih. Kampanye dapat dilakukan oleh pelaksana dan peserta kampanye yang melibatkan berbagai metode, seperti pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga di tempat umum, iklan media massa, debat pasangan calon, hingga media sosial.
Materi kampanye tersebut meliputi: a. visi, misi, dan program pasangan calon untuk kampanye pemilu presiden dan wakil presiden, b. visi, misi, dan program partai politik untuk partai politik peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh calon anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota; dan c. visi, misi, dan program yang bersangkutan untuk kampanye perseorangan yang dilaksanakan oleh calon anggota DPD.
Timbul pertanyaan apakah masayarakat dapat menggugat janji politik capres-cawapres atau caleg yang tidak direalisasikan setelah mereka terpilih.
Menurut Guru Besar Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Prof Rosa Agustina, masyarakat bisa saja menggugat janji politik. Namun gugatan itu sulit dikabulkan oleh pengadilan. Tapi, perlu dilihat apakah janji kampanye tersebut mengkat atau tidak.
“Kalau mengikat berarti ada akibat hukum, kalau ingkar janji, sesuai hukum perjanjian ada perjanjian mengikat dan tidak mengikat. Kalau tidak dilaksanakan akan ada efek moral, efeknya orang tidak percaya lagi. Nah, apakah janji politik itu bisa digugat? Saya kira susah, tapi seharusnya bisa ya, tapi saya tidak yakin akan dikabulkan pengadilan,’’ jelas Prof Rosa.
Prof Rosa melanjutkan kampanye merupakan ranah publik, yang mana janji yang dinyatakan tidak harus tertulis dan bisa saja secara lisan, tetapi ada moral yang melekat di dalamnya. Dia mengingatkan seseorang dipercaya karena tutur katanya. Bila omongan seseorang tidak dapat dipercaya, lantas apa yang bisa dipercaya oleh masyarakat.
Dalam teori hukum, terdapat 4 syarat perjanjian yaitu cakap, sepakat, hal tertentu, dan sebab yang halal. Dalam konteks kampanye, capres/caleg dan pemilihnya memenuhi syarat cakap karena kedua belah pihak sudah dewasa dan tidak di bawah pengampuan. Kemudian sepakat berarti ada kehendak dari kedua belah pihak.
“Sepakat artinya kan kehendak dari kedua belah pihak, tetapi antara caleg dan pemilih selaku pihak keduanya kan ada banyak. Kemudian syarat hal tertentu harus dapat terpenuhi apa tidak dan terpenuhinya sebab yang halal,’’ ujarnya.
Dalam pemilu, pemenuhan syarat sepakat masih ambigu diantara capres/caleg dan para pemilihnya. Sedangkan salah satu syarat perjanjian dinyatakan sah apabila adanya kesepakatan para pihak. Artinya, harus ada persetujuan atau kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian. Tidak boleh ada paksaan atau tekanan, melainkan perjanjian harus atas dasar kehendak sendiri.
Sebab, janji politik hanya diucapkan oleh capres/caleg pada masa kampanye. Sementara pemilih tidak mengikatkan diri untuk melakukan suatu prestasi dari janji politik tersebut. Salah satu artikel Hukumonline berjudul Janji Politik Pejabat Tak Bisa Digugat Secara Perdata, menjadi salah satu contoh artikel yang menjelaskan bahwa ketidakberhasilan janji politik bukan karena kesengajaan, tidak bisa menjadi sengketa hukum.