DEPOKPOS – Setiap individu akan menghadapi fase baru dalam perjalanan hidup saat memasuki kehidupan berumah tangga melalui pernikahan. Pasangan suami istri dalam commuter marriage mengalami dinamika unik dengan tidak tinggal bersama dalam waktu yang cukup lama, sehingga merasakan kehadiran fisik suami atau istri secara langsung menjadi sulit (Hartini & Setiawan, 2023).
Commuter marriage adalah kondisi pernikahan sukarela di mana pasangan, keduanya bekerja, memilih tinggal di lokasi geografis yang berbeda, membuat pertemuan mereka menjadi jarang (Rahmadhoni dalam Afriza, 2022). Data dari Marriage and Family Encyclopedia pada tahun 2009 memperkirakan bahwa 700.000 hingga 1 juta pasangan di Amerika mengadopsi gaya hidup commuter marriage (Rachmawati, 2015).
Hasil penelitian majalah Time pada 2007 menyatakan peningkatan jumlah pasangan commuter marriage sebesar 30% pada tahun 2005, mencapai 3,6 juta pasangan dibandingkan dengan 2,7 juta pada tahun 2000 (Rachmawati, 2015). Meskipun data spesifik di Indonesia masih terbatas, survei tahun 2016 menunjukkan bahwa sekitar 28,4% pasangan yang sudah menikah menjalani commuter marriage (Wibisono, 2016).
Fenomena commuter marriage di Indonesia terus berkembang sejalan dengan peningkatan pendidikan, pengembangan karir, dan faktor ekonomi yang signifikan, dianggap sebagai solusi bagi pasangan yang mengincar kesuksesan karir sambil menjaga keberlangsungan pernikahan (International Encylopedia of Marital and Family, 2009). Studi Pameswara dan Sakti (2016), serta Glotzer dan Federlein (2007), mendukung peran pekerjaan dan faktor sosio-ekonomi sebagai dorongan bagi pasangan menjalani commuter marriage. Namun, fenomena commuter marriage juga membawa dampak negatif, seperti menurunkan kepuasan pernikahan, meningkatkan tingkat stres, meningkatkan potensi perselingkuhan serta potensi peningkatan risiko perceraian (Amrullah & Suryadi, 2022).
Penelitian Rhodes dalam Chrishianie, Ginanjar, & Primasari (2018) menunjukkan korelasi antara commuter marriage dan ketidakpuasan pernikahan, hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yun Suk-Lee (2018), menegaskan bahwa tingkat kepuasan pernikahan pada pasangan commuter lebih rendah dibandingkan dengan pasangan suami istri yang tinggal bersama. Alasan dibalik peningkatan risiko ini diakibatkan oleh pasangan dalam commuter marriage memiliki keterbatasan waktu bersama dan kurangnya kesempatan untuk berkomunikasi (Wismanto, 2017). Oleh karena itu, untuk mengatasi tantangan tersebut, strategi komunikasi efektif menjadi kunci utama dalam meningkatkan kepuasan pernikahan pada pasangan commuter marriage.
Commuter marriage merujuk pada situasi di mana pasangan, satu atau kedua pasangannya, tinggal di lokasi yang terpisah dan sering melakukan perjalanan jarak jauh untuk bersama. Definisi commuter marriage adalah ketika suami istri memilih untuk tinggal di dua lokasi geografis yang berbeda dan terpisah minimal 3 malam per minggu selama periode minimal 3 bulan (Gross & Gerstel, 1982; Wulandari & Jannah, 2022).
Bentuk pernikahan yang unik ini telah menarik perhatian dalam beberapa tahun terakhir karena perubahan dalam sifat pekerjaan dan kemudahan akses perjalanan seiring berkembangnya globalisasi. Commuter marriage diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan perkembangan pendidikan dan pekerjaan (Pamujiningsih, 2023)—yang mana alasan utama di balik tren ini melibatkan peningkatan jumlah rumah tangga di mana kedua pasangan bekerja, tekanan finansial dan sosial, serta kebutuhan untuk mempertahankan dan meningkatkan karier (Ferk, 2005; Roslan, Li, & Ahmad, 2013).
Survei pada tahun 2016 mengindikasikan bahwa sekitar 28,4% pasangan yang sudah menikah menjalani commuter marriage (Wibisono, 2016). Fenomena ini dapat diatribusikan pada meningkatnya kesadaran akan pentingnya pengembangan karier dan pendidikan, yang pada akhirnya meningkatkan mobilitas pekerjaan di kalangan pasangan suami istri.
Dalam commuter marriage, di mana beberapa pasangan menjalani kehidupan terpisah karena alasan pekerjaan (Nastiti & Wismanto, 2017). Dalam menjalani kehidupan jarak jauh tersebut dapat menyebabkan konflik yang berdampak terhadap kepuasan pernikahan. Kesejahteraan emosional, kepuasan, dan kegembiraan yang dirasakan secara pribadi oleh individu yang telah menikah dapat tercermin dari berbagai dimensi yang ada dalam kepuasan pernikahan. Namun, kenyataannya, masih terdapat banyak pasangan yang mengalami kesulitan dalam menangani permasalahan yang timbul dalam kehidupan pernikahannya (Meiyuntariningsih & Aristawati, 2023).
Kekurangan kedekatan fisik dan tantangan dalam memelihara hubungan emosional yang kuat dapat memperburuk konflik, menjadikannya lebih sulit untuk diselesaikan. Konflik yang tidak terselesaikan cenderung menurunkan kepuasan pernikahan karena dapat menimbulkan perasaan kebencian, kesalahpahaman, dan perasaan terputusnya hubungan emosional (Dainton, 2000).
Berbagai konflik yang muncul dalam commuter marriage, seperti kesulitan berkomunikasi, kurangnya dukungan sosial, perasaan kesepian, pertengkaran, peningkatan potensi selingkuh, bahkan perceraian. Kesulitan komunikasi menjadi konflik utama karena adanya jarak fisik yang signifikan antara pasangan. Beberapa penelitian menekankan bahwa pernikahan jarak jauh membawa sejumlah risiko karena keterbatasan kontak fisik dan komunikasi yang terbatas (Amana dkk., 2020), yang dapat mengakibatkan pertengkaran, kesepian, dan kesulitan dalam berkomunikasi (Harsari, 2020).
Penelitian di Indonesia oleh Mijilputri (2015) menemukan adanya kendala dalam komunikasi, di mana jarak mempengaruhi intensitas komunikasi, menimbulkan pemikiran negatif, ketidakpercayaan, dan kesalahpahaman yang berpotensi menyebabkan konflik.
Pasangan dalam commuter marriage berkewajiban membagi tanggung jawab keluarga dan tuntutan pekerjaan (Krishna dkk., 2020), hal tersebut membutuhkan banyak waktu dan energi yang dapat menyebabkan kelelahan fisik dan mental.
Kurangnya dukungan sosial dari pasangan yang tidak selalu berada di dekat juga menjadi masalah yang dihadapi pasangan. Disamping itu, kesepian seringkali dirasakan akibat pemisahan yang berkepanjangan (Handayani, 2015).
Dampak lain mencakup potensi peningkatan pertengkaran akibat tekanan dan tantangan yang dihadapi. Fenomena commuter marriage dapat meningkatkan risiko perselingkuhan karena ketidaknyamanan dan keterbatasan dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Waskito (Swastiningsih, 2014) mengemukakan bahwa kesepian dapat membuka peluang untuk tertarik pada orang lain selain pasangan.
Jenis konflik diatas dapat dikatakan sebagai penyebab menurunnya tingkat kepuasan pernikahan. Sebagaimana dijelaskan oleh Robinson dan Blanton (dalam Bukhari, 2022), mengidentifikasi beberapa faktor kunci yang mempengaruhi kepuasan dalam pernikahan.
Faktor-faktor tersebut mencakup pertama, keintiman yang mencakup aspek fisik, emosional, dan spiritual, serta saling berbagi minat, aktivitas, pemikiran, perasaan, nilai, serta suka dan duka. Kedua, komitmen, baik dalam konteks komitmen terhadap lembaga pernikahan itu sendiri maupun komitmen terhadap pasangan. Ketiga, komunikasi, yang mencakup berbagi pemikiran dan perasaan, serta cara mendiskusikan masalah.
Dewi dan Sudhana (2013) menyoroti bahwa konflik yang berulang dapat merenggangkan hubungan pasangan sebagaimana dijelaskan oleh Bradbury dan Lavner (dalam Yoder & Du Bois, 2020) yang menegaskan bahwa pasangan yang tidak merasakan kepuasan dalam pernikahan mereka cenderung menghadapi konflik, yang dapat mengarah pada perceraian.
Selain itu, kesehatan mental dan fisik dapat berkorelasi dengan status pernikahan dan kepuasan pernikahan. Kepuasan pernikahan memiliki keterkaitan erat dengan kualitas pernikahan dan mencerminkan sejauh mana individu merasakan hubungan mereka secara positif atau negatif (Farooqui, 2014; Yoder & Du Bois, 2020).
Tingkat kepuasan pernikahan yang tinggi juga seringkali dikaitkan dengan penurunan rasa sakit, tingkat stres yang lebih rendah, dan ketaatan yang lebih tinggi terhadap perawatan medis dibandingkan dengan individu yang kurang puas dengan pernikahan mereka (Yoder & Du Bois, 2020).
Sama seperti ketidakpuasan yang muncul dalam commuter marriage, hasil penelitian Rhodes (dalam Chrishianie, Ginanjar, & Primasari, 2018) menunjukkan adanya korelasi antara commuter marriage dan ketidakpuasan dalam pernikahan. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Yun Suk-Lee (2018), menyatakan bahwa tingkat kepuasan pernikahan pada commuter marriage cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pasangan suami istri yang tinggal bersama.
Studi ini melibatkan 682 partisipan, dengan 555 istri dan 307 suami dalam rentang usia 20 hingga 50 tahun, di mana sebagian merupakan pasangan commuter marriage dan sisanya adalah suami istri yang tinggal bersama.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Schwartz (Pamer, 2013) mengungkapkan bahwa kehidupan commuter marriage dapat memiliki dampak negatif pada hubungan suami istri, meningkatkan risiko perceraian sebesar 40% lebih tinggi dibandingkan dengan pernikahan yang tidak melibatkan commuter marriage.
Dalam konteks commuter marriage, di mana pasangan menjalani kehidupan terpisah karena pekerjaan atau alasan lain, konflik mampu memberikan dampak signifikan terhadap tingkat kepuasan pernikahan. Kekurangan kedekatan fisik dan tantangan dalam memelihara keterikatan emosional yang kuat dapat memperburuk konflik dan membuat penyelesaiannya menjadi lebih rumit.
Konflik yang tidak diatasi dapat menyebabkan menurunnya kepuasan dalam pernikahan, karena mungkin memunculkan perasaan kebencian, kesalahpahaman, dan perasaan terputusnya hubungan emosional (Dainton, 2000).
Dalam kehidupan berumah tangga, berbagai masalah kerap muncul dan berpotensi memengaruhi harmoni rumah tangga. Sejumlah penelitian telah membahas bahwa pernikahan jarak jauh memiliki tantangan khusus dan memerlukan pertimbangan psikologis yang mendalam untuk mengatasi konflik (Amana dkk., 2020).
Kepuasan pernikahan menjadi aspek yang sangat penting dalam pernikahan jarak jauh, karena setiap pasangan tentu menginginkan kebahagiaan dalam keluarganya, yang pada dasarnya mencerminkan kepuasan pernikahan (Nadia dkk., 2017), yang pada gilirannya dapat berkontribusi pada kesehatan mental pasangan (Tavakol dkk., 2020).
Beberapa studi telah memberikan pencerahan mengenai kepuasan pernikahan itu sendiri, yang mencakup beragam perasaan kesenangan dan kepuasan yang diperoleh suami dan istri dalam memenuhi berbagai aspek kehidupan pernikahan (Tavakol dkk., 2020). Dengan lebih mendalam, kepuasan pernikahan melibatkan pemahaman, komunikasi, pembagian tugas rumah tangga, dan dukungan bagi pasangan untuk bersama-sama menghabiskan waktu (Ayub, 2010; Hermansyah & Nabella, 2023).
Seperti yang dikemukakan oleh Olson dan Fowers (dalam Jannah & Wulandari, 2022) juga merinci 10 aspek kepuasan pernikahan mencakup komunikasi, waktu luang, orientasi agama, resolusi konflik, manajemen keuangan, orientasi seksual, keluarga dan pertemanan, pengasuhan anak, kepribadian dan pembagian peran.
Dalam konteks ini, komunikasi memegang peranan kunci sebagai faktor pendukung terciptanya kepuasan pernikahan, sejalan dengan pandangan Duvval dan Miller (dalam Rahmawati, 2015), yang menekankan bahwa kemampuan berkomunikasi dengan baik sangat penting untuk meraih kepuasan pernikahan.
Ketika dihadapkan pada permasalahan pernikahan, khususnya dalam konteks pernikahan jarak jauh, solusi dapat ditemukan melalui pola interaksi yang baik, yang tentunya memerlukan komunikasi yang efektif. Peran penting komunikasi dalam hubungan pernikahan diakui oleh Ayub (2010) sebagaimana dinyatakan dalam Hermansyah & Nabella (2023), yang menegaskan bahwa komunikasi adalah faktor krusial dalam memenuhi kepuasan pernikahan.
Peran komunikasi yang efektif dalam merawat keberlangsungan commuter marriage menjadi sangat signifikan. Pada pernikahan ini, di mana pasangan menghadapi kehidupan terpisah dan seringkali hanya memiliki interaksi tatap muka yang terbatas, komunikasi yang efektif menjadi suatu hal yang krusial untuk memastikan kelangsungan dan kepuasan hubungan (Wijayanti, 2021).
Komunikasi yang terbuka dan jujur antara pasangan dalam commuter marriage memiliki peran vital dalam membangun kepercayaan, meningkatkan keintiman emosional, dan secara keseluruhan, meningkatkan kepuasan pernikahan. Dengan berkomunikasi secara rutin dan bermakna, pasangan dapat tetap terhubung, berbagi pemikiran, menyelesaikan konflik, serta membuat keputusan bersama.
Menurut Luczak & Kalbag (dalam Dalle & Akrim, 2021), lebih lanjut dapat dikatakan bahwa komunikasi perkawinan melalui telepon seluler memperkuat pernikahan dengan mengetahui kekhawatiran dan ketakutan satu sama lain untuk saling memahami dengan lebih baik. Selain itu, temuan penelitian Dalle & Akrim (2021), telah mengungkapkan hasil signifikan yang menyimpulkan bahwa integrasi ponsel pada pasangan suami istri adalah suatu keharusan untuk mempererat ikatan satu sama lain dan menghasilkan kehidupan yang baik dan bahagia.
Peningkatan komunikasi dalam commuter marriage dapat dicapai melalui berbagai strategi. Salah satu strategi efektif adalah pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan komunikasi antar pasangan, dimana komunikasi virtual adalah suatu kegiatan pertukaran informasi melalui ruang maya (cyberspace) yang menekankan unsur interaktivitas antara komunikator dan komunikan (Sulfitri & Nurdin, 2023).
Kemajuan teknologi seperti panggilan video dan pesan instan dapat mengatasi hambatan jarak, memungkinkan pasangan untuk terhubung secara real-time meskipun terpisah secara fisik. Dalam mempertahankan pernikahan jarak jauh, pasangan kerap mengandalkan teknologi, seperti video call melalui media sosial. Fitur ini memudahkan mereka membangun hubungan saling percaya karena dapat mengamati aktivitas pasangannya secara real-time (Lani dkk., 2022).
Hal ini membantu memelihara rasa keintiman dan kedekatan, memajukan komunikasi yang lebih baik, dan pada akhirnya, meningkatkan kepuasan pernikahan.
Selain itu, menetapkan jadwal komunikasi juga dapat membantu. Dalle & Akrim (2021) menyatakan bahwa menyisihkan waktu tertentu untuk berkomunikasi secara rutin dapat membantu pasangan untuk tetap terhubung dan mencegah perasaan diabaikan atau kesepian.
Dengan menetapkan rutinitas, pasangan dapat memprioritaskan komunikasi dan memastikan waktu yang cukup untuk percakapan yang bermakna. Berbagai strategi ini, bersama dengan pendekatan lainnya, dapat memberikan kontribusi positif dalam meningkatkan komunikasi dan membangun fondasi yang kuat bagi commuter marriage.
Selain itu, komunikasi yang efektif dalam commuter marriage juga berperan penting dalam membangun kepercayaan. Upaya pasangan untuk berkomunikasi secara terbuka dan jujur membantu membangun kepercayaan, mengurangi kecemasan, dan mengatasi ketidakpastian yang mungkin timbul akibat jarak fisik.
Cottrell (Rotenberg, 2010) menyatakan bahwa kepercayaan memegang peranan krusial dalam hubungan interpersonal. Komunikasi yang terus-menerus dan jujur memungkinkan pasangan untuk menyampaikan kebutuhan, kekhawatiran, dan emosi mereka, menciptakan lingkungan di mana keduanya merasa didengarkan dan dipahami.
Dengan berkomunikasi secara konsisten, pasangan dapat membangun kepercayaan satu sama lain, menguatkan ikatan emosional, dan mencapai keberhasilan dalam menjalani commuter marriage.
Untuk dapat memiliki hubungan yang sehat dan terhindar dari penurunan kepuasan pernikahan diperlukan usaha dari kedua pasangan. Namun, di saat yang sama kita tidak bisa mengendalikan respons atau perilaku orang lain salah satunya pasangan.
Oleh karena itu, dalam upaya meminimalisasi dan meningkatkan angka kepuasan pernikahan di kalangan pasangan commuter marriage, penulis menyarankan untuk menerapkan strategi peningkatan komunikasi efektif kepada setiap pasangan commuter marriage diharapkan dapat membawa sejumlah efek positif terhadap kepuasan pernikahan pasangan commuter marriage.
Ketika pasangan commuter marriage telah menerapkan komunikasi efektif maka hal itu akan membuat kepuasan pernikahan meningkat dan menghindarkannya dari perceraian.
Syarifa Diyana
Universitas Andalas