DEPOKPOS – Saat ini sudah banyak bermunculan Bank Islam atau Bank Syariah di Indonesia sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah keuangan atau permodalan, khususnya bagi Masyarakat muslim dan mmasyarakat pada umumnya. Bank Syariah di Indonesia sebagai Lembaga keuangan Islam dilengkapaki dengan Lembaga pendukung yang juga beroperasi secara Islami, sperti Badan Arbi Trase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa muamalah yang dihadapi oleh orang-orang Islam, dan Asuransi Tafakul yang aktivitasnya berdasarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Kemudian muncul lembaga jaminan syariah yang dinamakan Rahn. “Rahn” menurut bahasa berarti tetap, berlangsung dan menahan. Menurut istilah, “Rahan” berarti menjadikan sesuatu benda bernilai menurut syara’ sebagai jaminan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan ini seluruh atau Sebagian utang dapat diberikan.
Lalu bagaimana jika kontruksi hukum Rahn dihubungkan dengan gadai (pand) dalam KUH. Perdata dan bagaimanakah kedudukan Rahn dalam sistem hukum jaminan Indonesia?
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002, Pinjaman dengan menggunakan barang sebagai jaminan dalam bentuk Gadai Syariah (Rahn) diperbolehkan, yaitu suatu bentuk penyerahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Rahn dikembangkan melalui Bank Syariah dan Lembaga keuangan bukan bank yaitu Pegadaian Syariah.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui kesimpulan dari Rahn, yaitu:
Merupakan lembaga jaminan,
Obyeknya adalah benda yang mempunyai nilai ekonomis,
Dilakukan dnegan penyerahan benda kepada kreditur,
Kreditur berhak menahan benda dan menjual serta mengambil pelunasan dari hasil penjualan apabila debitur wanprestasi,
Utang yang dijmin adalah hutang tanpa bunga (riba).
Jika dihubungkakn dengan antara kontruksi hukum gadai dalam kuh. Perdata dengan kontruksi hukum Rahn, maka akan dijumpai perbedaan diantara keduanya.
Di Indonesia sendiri ada tiga jenis transaksi gadai,
Pertama; Gadai (pand) menurut KU. Perdata yang digunakan sebagai jaminan dalam kegiatan usaha Bank Konvensional;
Kedua; Gadai (Verpanding) menurut Aturan Dasar Pegadaian/ADP (Pandhhuis Reglement) sebagai kegiatan usaha pokok pada Perum Pegadaian;
Ketiga; Gadai syariah (Rahn) sebagai jaminan peminjaman uang pada kegiatan usaha Bank Syariah dan Pegadaian Syariah.
Dari ketiga jenis gadai tersebut, Gadai (Pand) dan Gadai pada perum Pegadaian sudah diatur dalam peraturan diatur dalam peraturan perundang-undangan, sedangkan Rahn belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum, untuk mengisi kekosongan hukum diperlukan alat bantu berupa konstruksi hukum yaitu tindakan analisis kritis untuk memahami suatu pola hubungan hukum sehingga dapat ditentukan bangunan hukumnya.
Kontruksi hukum dibutuhkan khususnya untuk memamhami suatu hubungan hukum baru yang belum ada aturan hukum yang secara khusus mengaturnya, sehingga dapat ditentukan aturan hukumnya. Caranya adalah dengan menerapkan salah satu ketentuan hukum atau berbagai aturan hukum secara bersamaan atau model campuran. Kegiatan yang harus dilakukan adalah menyelidiki apa yang esensial dari suatu hubungan hukum itu, diantaranya dengan melakukan abstraksi, dan membuang semua bentuk kekhususannya dan pada akhirnya dapat ditentukan esensinya. Dengan demikian yang dinamakan konstruksi hukum adalah suatu tindakan analitis kritis untuk memahami suatu pola hubungan hukum sehingga dapat ditentukan bangunan hukumnya (Paul Scholten).
Dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya konstruksi hukum gadai syariah (Rahn) adalah identic dengan gadai (Pand) menurut KUH. Perdata, yaitu: sama-sama memandang perjanjian gadai sebagai perjanjian ikutan (accessoir) dari perjanjian pokok yang dijamin, obyek gadai adalah benda bergerak, benda gadai dikeluarkan dari kekuasaan pemberi gadai, hak utama kreditur penerima gadai adalah menjual benda gadai (eksekusi) dalam hal debitur wanprestasi untuk mengambil pelunasan dengan kewajiban mengembalikanuang sisa hasil penjualan (eksekusi).
Perbedaan pada Rahn adalah debitur pemberi gadai wajib membayar biaya penyimpanan dan pemeliharaan, sedangkan pada gadai (Pand) tidak demikian.
Di luar perbedaan tersebut, pengaturan gadai (Pand) dalam KUH. Perdata meliputi:
Pertama; pemberi gadai boleh pihak ketiga, sehingga hal ini memungkinkan orang dapat menggadaikan barangnya untuk hutang orang lain atau dibalik, orang dapat mempunyai hutang dengan jaminan gadai barangnya orang lain (Pasal 1150 KUH. Perdata),
Kedua; benda gadai meliputi benda bergerak tidak bertubuh atau suatu hak tagih, yang dibedakan menjadi tagihan atas nama (op naam), atas bawa (aan toonder) dan tagihan atas tunjuk (aan order). Hal ini menambah keragaman obyek gadai,
Ketiga; larangan janji milik, Dimana ditentukan bahwa kreditur tidak boleh secara otomatis memiliki benda gadai kalau debitur wanprestasi, segala janji yang bertentangan dengan itu adalah batal demi hukum (Pasal 1154 KUH. Perdata). Hal ini dimaksudkan untuk melindungi debitur dari kemungkinan tindakan penyalahgunaan wewenang oleh kreditur penerima gadai,
Keempat; kreditur dapat memohon kepada hakim untuk menentukan cara lain penjualan benda gadai atau agar pemegang gadai diizinkan untuk membeli sendiri harga yang ditentuka oleh Hakim (Pasal 1156 KUH. Perdata)
Kelima; benda gadai bersifat tidak bisa dibagi-bagi, artinya dibayarnya Sebagian hutang debitur, tidak dapat dijadikan alasan untuk meminta dibebaskannya sebagian benda gadai dari ikatan jaminan gadai (Pasal 1160 KUH. Perdata).
Persamaan antara Rahn dan gadai (Pand), bahwa aturan gadai (pand) dalam KUH. Perdata sudah menjadi ketentuan yang diakui dan dikenal dalam peraturan hukum jaminan secara Internasional, dengan demikian maka secara logis Rahn berkedudukan sebagai bentuk varian dari gadai (pand).
Dhea Sri Amelia