Oleh: Mustikawati Tamher, Anggota Komunitas Muslimah Menulis {KMM) Depok
Dalam peringatan Hari Ibu 22 Desember 2023 lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) merilis tema “Perempuan Berdaya, Indonesia Maju”. Tema ini diharapkan memberi inspirasi kepada semua pihak untuk terus mendukung perempuan dan menyadari pentingnya peran mereka dalam mencapai kemajuan Indonesia (detikjabar).
Namun, di era sekarang, ibu berdaya dimaknai sebagai ibu yang mampu menghasilkan materi atau uang dan berpolitik praktis. Ditambah juga ibu yang sukses itu memiliki karier tinggi, mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan mencapai kekayaan. Namun, miris sekali, di sisi lain banyak problematika generasi saat ini, mulai seks bebas, kriminalitas, kecanduan narkoba, hingga gangguan mental. Jadi, kemajuan Indonesia seperti apa yang diharapkan jika seorang ibu tidak dapat mendidik anaknya menjadi generasi yang baik?
Dalam sistem sekuler kapitalis ini, peran ibu sungguh mengalami pembajakan. Ibu disibukkan dengan urusan dunia. Semakin hari kebutuhan hidup semakin mencekik. Harga bahan pokok melambung tinggi, biaya pendidikan dan kesehatan semakin berat. Penghasilan Ayah sebagai kepala keluarga pun tak mampu memenuhi semua kebutuhan. Mau tak mau ibu turun tangan mencari penghasilan lain untuk menutupi kekurangan. Belum lagi gaya hidup yang ingin terus dikejar, padahal sejatinya itu bukan sesuatu yang harus dipenuhi.
Sistem kufur ini memberi peluang kerja lebih besar bagi perempuan dibanding laki-laki. Seorang ibu lebih mudah mendapatkan pundi-pundi rupiah. Lihat saja pabrik-pabrik, para pekerjanya sebagian besar perempuan. Tak peduli itu merenggut waktu mereka bersama anak-anak. Sehingga ibu lupa dengan peran yang sesungguhnya, yaitu menjadi pendidik generasi.
Pasalnya saat ini, banyak yang berpikiran yang penting anak-anak terpenuhi kebutuhan jasmani dan kebutuhan tentang urusan duniawinya saja, dirasa orang tua sudah bertanggung jawab. Di sisi lain anak semakin kehilangan sosok panutan. Kebutuhan rohaninya terabaikan.
Maka dari itu, perlu adanya revitalisasi peran ibu sebagai pendidik generasi. Dan sudah seharusnya mengembalikan peran ibu sesuai dengan perintah Allah demi mewujudkan generasi berkepribadian mulia. Hal ini sejalan dengan sebuah syair yang terkenal yang dinukil oleh syaikh Shaleh al-Fauzan dalam kitab “Makaanatul mar-ati fil Islam” yang berbunyi:
الأم مدرسة إذا أعددتَها
أعددتَ شَعْباً طَيِّبَ الأعراق
“Ibu adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya, berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya.”
Oleh karenanya, Islam sangat menjaga kehormatan dan kemuliaan perempuan. Mereka tidak dibebankan untuk mencari nafkah. Dengan begitu, seorang perempuan dapat mempersiapkan dirinya untuk menjadi seorang ibu yang memiliki keimanan dan ketakwaan yang tinggi. Sehingga ibu mampu mendidik anaknya dengan baik sesuai tuntunan Allah. Keimanan dan ketakwaan bukan sesuatu yang bisa diwariskan begitu saja, namun harus diikhtiarkan oleh orang tua.
Pasalnya, generasi yang berkualitas menentukan majunya sebuah bangsa. Di sinilah peran ibu sangat penting. Ibu yang memiliki pemahaman ilmu agama, mengajari penerapan syariat Islam kepada anak-anaknya, sabar dalam mendidik, juga memiliki rasa syukur dan menjadi cerminan bagi buah hati. Sehingga tertanam dalam diri kesadaran untuk menjadi individu berkepribadian mulia, berpegang teguh pada aturan Allah dalam kondisi apa pun dan di mana pun, menjauhkan diri dari kemaksiatan. Dan mendidik anak untuk memahami hakikat hidup yang sebenarnya, bahwa segala perbuatan harus meraih ridha Allah dan akan di pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Hal ini dapat terwujud apabila sistem Islam diterapkan. Karena sistem Islamlah yang dapat memenuhi kesejahteraan perempuan. Menjadikan ibu yang berkualitas, agar mencetak generasi berkualitas juga. Pemimpin bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Ketika dalam keluarga sudah terjamin segala aspek kehidupannya, maka ibu bisa fokus untuk mendidik anak-anak sesuai fitrahnya.[]