DEPOKPOS – Secara global, 70% kematian di dunia disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti penyakit kanker, diabetes mellitus, stroke, penyakit ginjal kronis, dan hipertensi. Angka tersebut juga diprediksi akan terus meningkat.
Menurut Riskesdas, prevalensi PTM mengalami peningkatan dari tahun 2013 ke tahun 2018, yaitu kanker 1,4% menjadi 1,8%; stroke 7% menjadi 10,9%; penyakit ginjal kronik 2% menjadi 3,8%; dan hipertensi 25,8% menjadi 34,1%. Kenaikan prevalensi PTM ini juga diiringi dengan adanya peningkatan prevalensi obesitas dari tahun 2013 ke tahun 2018 yaitu dari 15,4% menjadi 21,8%.
Menurut laporan rencana aksi kegiatan yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular diprediksi akan terjadi 52 juta jiwa kematian per tahun akibat PTM pada tahun 2030 (Kemenkes RI, 2020).
Penyakit-penyakit tidak menular seperti kanker, gagal ginjal dan stroke adalah penyakit yang membutuhkan anggaran besar untuk biaya pengobatan dan perawatan. Hal ini dibuktikan dengan pengeluaran tertinggi BPJS yang dialokasikan untuk penyakit tidak menular adalah sebesar 25% dari keseluruhan jumlah pembiayaan (Santoso dkk, 2020).
Kondisi tersebut dengan jelas memerlukan upaya pencegahan. Salah satu faktor yang menyumbang tingginya prevalensi PTM adalah pola makan yang tidak sehat dan pemilihan makanan yang buruk.
Berdasarkan hasil analisis dari Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) 2014, terdapat 29,7% masyarakat Indonesia yang mengonsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) melebihi batas anjuran (Atmarita dkk, 2016). Persentase masyarakat Indonesia yang mengonsumsi gula melebihi batas rekomendasi WHO (>50 g/hari) adalah 11,8%.
Angka konsumsi gula yang berlebih pada masyarakat Indonesia turut disumbang oleh adanya konsumsi minuman berpemanis atau Sugar Sweetened Beverages (SSB) yang tinggi yaitu sebesar 20,23 liter/orang (Ferretti & Mariani, 2019).
Tidak hanya itu, konsumsi GGL yang tinggi juga disebabkan karena 53,7% masyarakat mengonsumsi garam melebihi batas anjuran WHO (>5 g/hari) dan 27% masyarakat telah mengonsumsi lemak melebihi batas anjuran lemak total (67 g/hari) (Atmarita dkk, 2016).
Berkaitan dengan hal tersebut, Consumer International menyatakan bahwa terjadi peningkatan sebesar 92% penjualan produk kemasan di seluruh dunia selama satu dekade terakhir (Sari MP dkk, 2016). Produk kemasan yang dikonsumsi oleh masyarakat sering kali memiliki kandungan GGL yang cukup tinggi, kondisi ini dapat meningkatkan konsumsi GGL jika masyarakat tidak memahami cara membaca label pangan yang benar.
Label pangan adalah label yang memuat keterangan-keterangan suatu pangan yang terdapat di bagian dalam atau luar kemasan. Informasi yang tertulis dalam label pangan antara lain nama produk, logo halal, daftar bahan/komposisi, informasi nilai gizi, informasi alergen, berat bersih, dan keterangan kadaluarsa.
Di dalam label pangan, tercantum informasi nilai gizi yang merupakan daftar kandungan zat gizi dan non gizi pangan olahan. Label pangan ini penting untuk dibaca dan dicermati karena dapat membantu masyarakat dalam memilih pangan yang aman, membandingkan kandungan nilai gizi antara berbagai pilihan produk yang serupa, dan dapat membantu menyesuaikan kebutuhan gizi individu.
Label pangan olahan terdiri dari beberapa jenis dan umumnya terletak pada bagian belakang kemasan. Salah satu jenis label pangan olahan yaitu traffic light nutrition labelling (TFNL) atau label pangan lampu merah yang biasanya menunjukkan empat zat gizi utama (yaitu lemak, gula, zat jenuh, dan garam) yang umumnya terkandung dalam pangan olahan, dengan warna merah menunjukkan kadar tinggi, kuning menunjukkan kadar sedang, dan hijau menunjukkan kadar zat gizi yang rendah (Kunz, S. dkk., 2020).
Label pangan lampu lalu lintas bertujuan untuk bertujuan untuk membantu konsumen dalam melihat produk pangan yang lebih sehat. Karena mudah dilihat dan dinilai secara visual, label pangan lampu lalu lintas dapat meningkatkan kesadaran konsumen akan kesehatan saat berbelanja bahan makanan, dan dapat membantu mencegah penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup, pembelian pangan yang kurang sehat, dan mengonsumsi empat zat gizi utama secara berlebihan (Wakui, N. dkk., 2023). Saat ini, Indonesia belum menerapkan label pangan lampu lalu lintas.
Di Indonesia, label pangan yang saat ini umum digunakan adalah label BoP (Back of Pack) yang mencantumkan informasi nilai gizi pada bagian belakang kemasan. Penggunaan label BoP ini dinilai kurang efektif karena informasi nilai gizi yang tertera hanya berisi tulisan, tampilannya tidak menarik, dan informasinya sulit dimengerti bagian sebagian masyarakat sehingga keberadaannya sering diabaikan dan tidak dibaca.
Hal tersebut mendasari bahwa label pangan di Indonesia dinilai kurang efektif dan menyebabkan buruknya pemilihan produk pangan olahan pada masyarakat yang berdampak pada kesehatan dan prevalensi PTM.
Label pangan yang digunakan di Indonesia memerlukan tingkat literasi dan penafsiran yang tinggi maka dari itu label pangan yang seperti lampu lalu lintas yang menunjukkan warna hijau yang mengartikan kadar gizi yang sehat atau normal dan warna merah yang mengartikan bahwa kadar gizi tidak sehat atau melewati batas normal akan mendorong pilihan yang lebih sehat pada konsumen karena bentuknya yang lebih sederhana (Thorndike, A.N. dkk., 2015). Berikut merupakan contoh label pangan lampu lalu lintas:
Dapat dilihat pada label tersebut total kalori atau energinya adalah 300 kkal pada 1 bungkus keripik kentang. Pada label pangan lampu lalu lintas keripik kentang, kadar lemak jenuh dan kadar garam berwarna merah yang mengartikan bahwa kadar lemak jenuh dan garam pada keripik kentang tinggi atau sangat melebihi batas normal atau batas yang seharusnya kita konsumsi, kadar lemak total berwarna jingga sehingga menandakan bahwa kadar lemak masih sehat untuk dikonsumsi selama tidak dikonsumsi secara berlebihan, dan kadar gula berwarna hijau yang menandakan bahwa kadar gula masih di kategori sangat sehat.
Maka dari itu, konsumen dapat menilai sendiri apakah keripik kentang tersebut dapat dianggap sebagai kategori makanan yang sehat, kurang sehat, atau tidak sehat. Penilaian ini dapat dilakukan karena label pangan lampu lalu lintas memberikan gambaran visual tentang tingkat keempat zat gizi utama.
Berdasarkan hasil beberapa penelitian, label pangan lampu lalu lintas terbukti efektif dalam meningkatkan proporsi masyarakat dalam menentukan produk pangan yang sehat dan adanya perbaikan dalam konsumsi asupan zat gizi tertentu. Dengan adanya label pangan lampu lalu lintas yang mudah untuk dipahami, masyarakat menjadi lebih sadar akan kesehatan khususnya dalam aspek konsumsi produk pangan olahan.
Di masa depan, label pangan lampu lalu lintas dapat menjadi sebuah kebijakan baru bagi beberapa negara, sehingga konsumsi makanan sehat akan semakin meningkat dan masyarakatnya terhindar dari PTM yang berkaitan dengan gaya hidup dan konsumsi pangan (Emrich et al, 2017; Wakui et al, 2023). Terlepas dari belum adanya label pangan lampu lalu lintas di Indonesia, mari buat perbedaan dalam hidup kita sendiri dan pilihlah makanan dengan bijak, dan jadikan kesadaran akan gizi sebagai panduan kita!
Penulis:
Nibras Azeenshia Winarno dan Rista Azzulfa
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia