Daftar Isi
Kue dongkal hanya bisa ditemukan di Depok, Bekasi hingga Bogor.
DEPOKPOS – Dongkal atau dedongkalan atau biasa disebut awug, eksis sejak era kolonial Belanda.
Namun banyak juga yang menyebutkan bahwa dongkal merupakan makanan khas Betawi.
Tapi justru dongkal atau sebagian orang menyebutnya dengan kue awug, ternyata punya sejarah nenek monyang dari daerah Jawa Barat.
Kue dongkal hanya bisa Kamu ditemukan di Depok, Bekasi hingga Bogor. Kenapa hanya ada di daerah tersebut?
Bermula dari Pembuatan
Secara pembuatan, masyarakat sunda biasa membuat kue dongkal dengan aseupan atau kukusan.
Aseupan sendiri peralatan dapur tradisional serba guna, bisa untuk mengukus nasi maupun umbi-umbian lain.
Alat masak aseupan menjadi populer digunakan oleh masyarakat Sunda.
Walaupun kemungkinan di daerah lainnya juga ada yang menggunakan aseupan atau kukusan dengan nama berbeda.
Filosofi Kue Dongkal
Filosofi kue dongkal mirip seperti nasi kuning tumpeng.
Ringkasnya, kue dongkal diartikan untuk memuliakan gunung sebagai tempat bersemayamnya para arwah nenek moyang.
Zaman baheula (dahulu, red) masyarakat Sunda meyakini para arwah nenek moyang sebagai leluhurnya.
Bentuknya yang mengerucut seperti gunung, erat kaitannya dengan keadaan alam di Indonesia, yaitu banyak gunung dan perbukitan.
Filosofi tersebut juga digunakan oleh masyarakat tanah Priangan atau Jawa Barat.
Makna dari Bahan-bahan Kue Dongkal
Dalam kosmologi Sunda, terdapat Pohaci Sanghyang Asri yang digambarkan sebagai sosok dewi padi.
Hal ini mengacu pada bahan baku pembuatan dongkal, di mana salah satunya menggunakan tepung beras.
Masyarakat Sunda sangat menghormati dan memuliakan Pohaci Sanghyang Asri.
Lalu ada penggunaan gula merah di dalam kue dongkal.
Tak hanya tepung beras, gula merah pun erat kaitannya dengan kehidupan.
Gula merah melambangkan seseorang yang telah menemukan gula hitam atau manisnya madu kehidupan.
Dalam tahap-tahap pembuatannya, gula merah juga mempunyai makna mengenai proses kelahiran atau reproduksi manusia.
Pengertian dari Simbolik Kue Dongkal
Pengertian atau makna simbolik lainnya mengenai segitiga dituturkan Ajip Rosidi (2008), yaitu bahwa bentuk segitiga (dalam bahasa Sunda disebut jurutilu) juga dipakai sebagai simbol vagina atau yoni, tempat bagi kelahiran manusia.
Tampaknya simbol itu dalam bentuk segitiga terbalik atau salah satu sudut terletak di bawah.
Dengan pengertian sebelumnya, bentuk segitiga yang terdapat dalam aseupan mengandung makna sebagai tempat suci bagi transformasi kehidupan.
Segitiga dengan satu sudut di atas melambangkan tempat suci bagi transformasi ke alam lain melalui kematian.
Sedangkan segitiga dengan satu sudut di bawah melambangkan tempat suci bagi transformasi dari alam rahim ke alam dunia melalui kelahiran (Jamaludin, 2011).