Oleh: Sanya, Mahasiswi Universitas Indonesia
Permasalahan perdangangan manusia, kerja paksa, dan praktik perbudakan modern menjadi ancaman serius di Indonesia. Perdangan manusia ini tidak terbatas pada kata “penjualan” semata, melainkan tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi berdasarkan definisi perdangan orang pada Pasal 1 angka 1 UU 21/2007.
Diperkirakan setiap harinya terdapat 27,6 juta orang yang menjadi korban kerja paksa berdasarkan data Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Perdangan manusia ini dapat terjadi pada siapapun, baik perempuan, laki-laki, orang tua, dan anak-anak. Modusnya pun beragam mulai dari prostitusi, eksploitasi tenaga kerja, perdangan organ, adopsi illegal, dan bentuk eksploitasi lain.
Permasalahan yang semakin kompleks ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan memerangi penyalahgunaan teknologi, pengadaan kemitraan pemerintah dan sektor swasta, serta pemantauan rantai pasokan tenaga kerja seperti yang disimpulkan pada forum Bali Process Ministerial Conference (BPMC) 2022.
Perdangan manusia atau human trafficking yang terjadi hingga saat ini adalah salah satu dampak carut-marutnya sistem pemerintahan, banyak program-program pemerintah yang tidak terealisasi salah satunya, yaitu pengentasan kemiskinan.
Dana yang dianggarkan untuk mengentas kemiskinan yang mencapai Rp500 triliun pun dipertanyakan kejelasan peruntukannya karena dengan jumlah yang tidak sedikit, angka kemiskinan di Indonesia hanya turun 0,6%.
Ditambah pernyataan Menteri PANRB soal anggaran kemiskinan yang banyak terserap untuk studi banding, biaya konsultan, dan seminar di hotel-hotel tentu membuat kita semakin miris.