Konten Viral dan Flexing Kian Marak, Apa Penyebabnya?

Oleh: Annisa Fauziah, S.Si (Aktivis Muslimah)

Di era berkembangnya teknologi, ternyata muncul pula tantangan bagi generasi. Salah satunya, yaitu menjadikan media sosial sebagai sarana untuk menunjukkan eksistensi diri. Namun, sering kali justru dengan cara yang bahkan merusak jati diri. Salah satu contoh yang menjadi sebuah ironi, yaitu seorang perempuan berusia 21 tahun yang ditemukan tewas dengan leher menggantung di sebuah tali saat sedang membuat konten candaan gantung diri di hadapan teman-temannya via video call. Kejadian ini terjadi di Leuwiliang, Kabupaten Bogor (cnnindonesia.com, 3/3/3023)

Bacaan Lainnya
BACA JUGA:  Ramadhan Bukan Bulan Biasa

Sebenarnya, kejadian sejenis pun sudah banyak dipertontonkan di media sosial. Mulai dari konten remaja yang menabrakkan diri ke truk, selfie di tempat yang ekstrem, dan sebagainya. Kondisi seperti ini sebenarnya hanyalah fenomena gunung es. Sebab, hanya kasus yang viral saja yang terungkap ke permukaan. Adapun faktanya, banyak kejadian serupa yang terjadi di berbagai daerah dan seolah menjadi angin lalu saja.

Selain itu, saat ini media sosial juga banyak dipenuhi oleh konten flexing. Istilah flexing merujuk pada seseorang yang menyombongkan gaya hidupnya demi memberikan kesan mampu pada orang lain. Hal ini dilakukan demi mendapatkan pengakuan dari orang lain. Tuntutan gaya hidup hingga pengaruh pertemanan juga semakin mendorong banyak orang yang melakukan hal ini. Sekadar demi mendapatkan like dan view di media sosialnya, seolah mampu meningkatkan rasa percaya dirinya.

BACA JUGA:  Ramadhan Bukan Bulan Biasa

Lalu, apa yang menyebabkan hal ini semakin marak terjadi di kalangan pemuda khususnya? Tentu, hal ini bukan sekadar terjadi karena faktor individu ataupun personal yang mendorong seseorang membuat konten yang tidak bermanfaat. Akan tetapi, ada pensuasanaan sistem yang menyebabkan taraf berpikir masyarakat hanya berorientasi kepada materi belaka.

Ialah sistem kapitalisme sekuler yang menjadikan materi sebagai orientasinya. Akidah sekularisme yang lahir dari ideologi ini telah memisahkan aturan agama dari kehidupan. Maka, wajar jika agama hanya dijadikan panduan untuk menjalankan ibadah ritual semata.

Pos terkait