Kemiskinan Berujung Stunting

 

Oleh : Ayyuhanna Widowati, Pengajar di Depok

Bacaan Lainnya

Negeri elok nan subur, pantaslah sebagai negeri gemah ripah loh jinawi tersemat padanya. Bangga menjadi bagiannya, banyak sumber daya alam yang Allah anugerahkan kepada negeri ini.Namun sungguh ironi, sedari awal kemerdekaannya hingga saat ini, masyarakat Indonesia selalu di bawah garis kemiskinan. Padahal, berbagai upaya telah dilakukan, tetapi belum mencapai keberhasilan.

Irisan kemiskinan ekstrem dan stunting mencapai 60%. Artinya, sebagian besar penyebab stunting dilatarbelakangi oleh kemiskinan ekstrem, seperti mengakses kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan), akses air bersih, fasilitas sanitasi, kesehatan, pendidikan, dan lainnya.Oleh karena itu, menurut Menko PMK Muhadjir Effendy, menyelesaikan kemiskinan ekstrem dan stunting harus dengan “keroyokan” berbagai pihak. Pemerintah harus berupaya serius menangani masalah tersebut melalui intervensi spesifik dan intervensi sensitif. (Republika, 14/1/2023).

BACA JUGA:  Negara Wajib Menjamin Ketahanan Pangan Rakyatnya

Dalam sistem saat ini, persoalan kemiskinan tidak akan pernah terselesaikan. Kemiskinan akan terus berulang sebab sistem kapitalis lahir dari akal manusia yang memiliki keterbatasan . Sistem kapitalie bukanlan sistem yang berasal dari aturan Sang Pencipta, yang paling mengetahui segala yang terbaik bagi makhluk-Nya, Dia lah Allah Ta’ala.

Salah satu penyebab sistem ekonomi kapitalisme tidak bisa menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan stunting karena adanya kebebasan kepemilikan dengan meliberalisasi seluruh sumber daya, termasuk sumber daya yang menjadi hajat hidup orang banyak. Sebagai contoh barang tambang batu bara mayoritas dikuasai oleh swasta. Padahal, batu bara sebagai bahan bakar sangatlah diperlukan bagi terpenuhinya kebutuhan hidup manusia.

BACA JUGA:  Negara Wajib Menjamin Ketahanan Pangan Rakyatnya

Dampaknya, tarif listrik menjadi mahal karena sebagian besar pembangkit listrik menggunakan bahan bakar batu bara. Seandainya batu baranya milik negara, sudah pasti ongkos produksinya tidak akan mahal. Belum lagi kepemilikan saham PLN yang ternyata mayoritasnya milik swasta. Jika sudah terkait swasta, maka orientasinya ada pada keuntungan perusahaan, tidak lagi pada terpenuhinya kebutuhan rakyat.Ini baru kepemilikan batu bara yang jika seluruhnya dikuasai negara.

Pos terkait