Oleh Moh. Hairud Tijani, Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung
Dakwah kini menjadi ujung tombak utama penyebaran agama yang diidentikkan dengan politik, yang sebenarnya merupakan ujung dari gerakan untuk meraih kekuasaan, namun menurut saya dakwah dapat dilakukan dengan kerangka kerja yang politis dan kuat. Kesatuan yang saling bergandengan tangan untuk mencapai tujuan bersama. Ketika kekuatan yang melandasi dakwah berada dalam tujuan yang ingin dicapai secara bersama, maka dapat diwujudkan secara menyeluruh, yaitu melalui kebijakan dan program pemerintah yang berkuasa, dakwah akan lebih efektif dan tersampaikan luas kepada masyarakat.
Justru ketika kita mengambinghitamkan dakwah sebagai politik identitas, maka sama sekali tidak benar karena dakwah dan politik tidak bisa serta merta disebut sama karena dakwah pada hakikatnya adalah kewajiban dan politik hanyalah sarana dan prasarana untuk mendapatkan kekuasaan dan kalaupun ada, sebuah kebijakan dari pemerintah yang terkesan mengabaikan agama lain, karena cenderung berpihak pada agamanya sendiri dan berpura-pura menjadi orang yang royal akan agama lain, tentunya haruslah di ingatkan melalui aspirasi yang baik dan damai, jika terdapat hal seperti itu jangan kita mengklaim bahwa agama tersebut sebagai agama yang buruk, karena kelakuannya itu tidak seharusnya menyalahkan agamanya juga, tapi balik lagi ke politik hanyalah alat dan oknum yang bermain di dalamnya itu bukan agamanya.
Islam sebagai agama yang ramah menulis tentang prosedur kekuasaan dan otoritas yang disebutkan dalam Al-Qur’an; “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk menunaikan amanat kepada yang berhak atasnya, dan (memerintahkan hikmat) di antara kamu untuk memutuskannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberimu ajaran yang paling baik. Sesungguhnya Allah maha mendengar dan maha melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah rasul dan ulil amr di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka hubungkanlah dengan Allah (Alquran) dan rasul (sunah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa:58-59).
Para ulama menganggap kedua ayat ini sebagai prinsip utama Islam yang bertanggung jawab atas kekuasaan dan otoritas, yang menunjukkan bahwa seorang Muslim harus berkomitmen dan patuh pada amanat yang diberikan kepadanya. Karena dalam konsep Islam, semua manusia memiliki amanatnya masing-masing. Walau tak memungkiri keterlibatan dakwah dalam politik merupakan hal yang sangat strategis. Ketika dakwah dapat menguasai politik, maka politik negara dapat menyatu dengan tujuan dakwah itu sendiri.
Menetapkan pedoman sesuai agenda dakwah tentu sangat efektif karena dapat mewarnai masyarakat, membimbing masyarakat untuk berbuat kebaikan secara teratur dan formal, serta mencegah masyarakat dari maksiat dan kemungkaran. Oleh karena itu, pelaksanaan amar ma’ruf Nahi munkar dapat didukung dengan kewenangan wajib. Akan tetapi seorang politikus dan penguasa harus adil dalam perbuatannya nanti sebagai tanda ibadah, Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“ Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Dengan demikian seseorang yang mempunyai kuasa harus bertanggungjawab akan seluruh kebijakan dan program yang diterapkanya, agama bukan jalan satu-satunya dalam memperoleh ridha Allah karena sesungguhnya orang yang beriman kepada agamanya ialah orang yang mampu melaksanakan segala kewajiban nya sebagai Khalifah di bumi ini. Allahhualam