Pola pembiayaan syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang didasarkan pada persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan bagi hasil. Pola pembiayaan syariah mengandung prinsip al-gunm bil gurm yang berarti proses pembagian hasil atau keuntungan diimbangi dengan pembagian resiko pula. Sejatinya mudarabah dan musyarakah merupakan produk unggulan dalam perbankan Islam terutama dalam upaya menghindari transaksi riba. Operasional perbankan Islam memiliki beberapa risiko bawaan seperti risiko agensi (asymmetric information), pembiayaan, pasar, liquiditas, hukum, reputasi, strategi, kepatuhan, imbal hasil dan investasi (Ascarya, 2007). Adanya risiko yang harus ditanggung konsumen dalam pembiayaan bagi hasil membuat produk bank syariah tersebut minoritas peminatnya.
Aturan yang diterapkan bank syariah terkait proses pembiayaan bukan diakui sebagai hutang layaknya bank konvensional, namun didasarkan pada asas kepercayaan antara bank dengan konsumen. Teori agensi oleh Bank syariah terkait pembiayan bagi hasil memiliki problem (agensi) asymmetric information yang berimplikasi pada terjadinya mora hazard. Selain itu pembiayan bagi hasil ini juga dipengaruhi beberapa faktor eksternal seperti inflasi, gejolak pemerintahan, peningkatan biaya operasional, failed management dan ketidakstabilan perekonomian nasional sehingga sangat riskan bank syariah terhadap risiko kolektabilitas.
Dari beberapa risiko yang ada, maka perlu dibuatnya aturan terkait yang mengatur regulasi antara bank syariah, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun dari beberapa regulasi yang sudah ditetapkan masih terdapay beberapa permasalahan dalam implementasinya terutama dalam hal pelaksanaan manajemen bank. Diperkirakan dari implementasi regulasi tersebut justru mengubah prilaku manajemen bank syariah menjadi hyperprudent terhadap pembiayan bagi hasil (Iskandar, 2010). Akibatnya, bank syariah kehilangan kreatifitas dalam perannya sebagai salah satu daya dorong pertumbuhan ekonomi umat dan employment.
Dari sisi pembiayaan musyarakah juga terdapat beberapa risiko yang perlu diperhatikan dalam pembiayaan bank syariah. Penelitian oleh Hennie dan Zamir terkait risk analysis for islamic bank menjelaskan tentang permasalahan manajemen risiko pada Pembiayaan Loss Sharing (PLS) yang memang memiliki risiko bawaan dari model aqadnya (Hennie, 2008). Selain itu juga dijelaskan terkait tantangan bank syariah yang harus membayar bagi hasil lebih besar dari hasil yang peroleh dari nasabah yang dibiayai. Adapun kendala yang sering ditemui dalam pembiayan PLS diantaranya problem adverse selection, moral hazard dan kewajiban pelaporan laba yang kurang dari sebenarnya.
Penelitian selanjutnya oleh Mervyn (2001) tentang Risk Management For Islamic Bank yang menyatakan bahwa bank syariah harus memiliki regulasi untuk penguatan pembiayaan dan institusinya. Terdapat beberapa dilematika dalam regulasi bank syariah diantara pembiayaan bagi hasil dengan sistem mark-up (murabah). Banyak tokoh seperti Munzir Kahaf dan juga Abdullah Saeed mencurigai pembiayaan mar-up (murabahah) pada bank syariah merupakan bentuk lain dari praktik riba. Dengan kata lain pembiayan dengan skim murabaha (mark-up) atau (mark-up dengan cicilan) diperbolehkan namun dengan beberapa catatan bahwa fungsi utama bank syariah tidak hanya sebagai lembaga intermediary akan tetapi mempunyai fungsi dalam menunjang perekonomial nasional.
Sejatinya sistem pembiayaan yang paling cocok digunakan dalam suatu usaha guna menunjang pertumbuhan ekonomi adalah dengan penerapan pembiayaan bagi hasil. Namun alangkah baiknya dalam penerapan pembiayaan bagi hasil perlu dilakukan tinjauan ulang terkait fungsi dan keberadaan pembiayaan dengan skim murabaha (mark-up) pada perbankan syariah (Paul, 1998). Karena pada dasarnya konsumen akan menjadikan pembiayaan bank syariah sebagai sebagai salah satu alternatif pilihan meneruskan usahanya. Melalui hal tersebut Bank syariah dapat berperan sebagai penyokong para debitur dengan kekuatan jaringan dan persyaratan yang standar. Dengan demikian artikel ini berisikan beberapa opini dan literatur yang relevan yang dapat digunakan untuk menemukan akar filosofis manajemen risiko bagi bank syariah dalam pembiayaan bagi hasil. Tulisan ini diharapkan menjadi asas dalam mengkonstruk manajemen risiko pembiayaan bagi hasil bagi bank syariah. Oleh karena itu, artikel ini akan menjawab beberapa pertanyaan penting yaitu bagaimana azas-azas manajemen risiko pembiayaan bagi hasil dan juga bagaimana konstruksi filosofis manajemen risiko pembiayaan bagi hasil pada bank syariah. Kesehatan bank itu tidak hanya dengan standar kolektabilitasnya selama ini namun juga sektor pembiayaan serta skim yang digunakan dalam pembiayaan.
*Luthfiya Rifqoh, STEI SEBI