Terhitung sejak Maret 2020 lalu, kini sudah satu tahun lebih wabah COVID-19 ditetapkan sebagai pandemik global oleh World Health Organization (WHO). Pemerintah Indonesia menetapkan pandemik ini sebagai Bencana Nasional, kondisi ini menyebabkan berbagai kebijakan baru yang silih berganti telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai upaya dalam mengatasi penyebaran COVID-19. Namun, tak sedikit dari berbagai kebijakan yang ditetapkan pemerintah menyebabkan berbagai risiko terjadi pada roda pergerakan ekonomi.
Di mana, kondisi ekonomi saat ini sedang mengalami ketidakpastian yang disebabkan oleh alam atau yang biasa disebut dengan istilah nature uncertainty caused. Sementara itu, pada dasarnya kondisi yang dialami Indonesia saat ini merupakan bentuk Risiko Alami (Pure Risk), yaitu risiko yang ada di setiap kejadian dan tidak dapat dihindari atau dikurangi. Dalam konsep risiko, ada satu cara untuk mengatasi risiko ini yaitu dengan mentransfer risiko melalui asuransi.
Menurut Robert De Smet dalam bukunya yang berjudul Trait Teoretique et Pratique Des Assurances Maritimes. Ia menyatakan bahwa “orang-orang kuno tidak memerlukan asuransi karena mereka mendapatkan perlindungan penuh yang diberikan oleh keluarga dan sukunya di mana praktik saling kerja sama seperti yang diterapkan dalam asuransi adalah keniscayaan (hal yang pasti). Hal ini berbeda dengan peradaban kuno masyarakat Mesir, Punisia, Yunani, dan Roma, yang mana individu dalam masyarakat terancam berbagai risiko tanpa adanya bantuan dari komunitas keluarga”. Dalam pernyataan tersebut, kita bisa simpulkan bahwasanya praktik asuransi dapat membantu kita untuk mendapatkan jaminan perlindungan dari berbagai risiko yang mungkin terjadi.
Apabila dikaitkan dengan kondisi yang telah dipaparkan sebelumnya, pandemi COVID-19 telah mengakibatkan kebutuhan terhadap jasa perlindungan atas risiko jiwa, harta dan perusahaan semakin meningkat. Hal ini berarti, kebutuhan terhadap praktik asuransi juga semakin meningkat. Namun dalam Islam, praktik asuransi yang dilakukan perlu memperhatikan berbagai aspek dan terbebas dari unsur maysir, gharar dan riba. Praktik asuransi ini kita kenal dengan sebutan asuransi syariah atau takaful. Pada asuransi syariah, konsep dasar risiko yang terjadi adalah berbagi risiko (sharing risk). Risiko dalam asuransi syariah dibagi bersama, di mana peserta asuransi menghibahkan premi yang dibayarkannya untuk menanggung risiko bersama dengan peserta asuransi lainnya.
Skema asuransi syariah langsung membagi biaya kontribusi atau premi ke dalam dua pos, yakni dana peserta dan dana ujrah perusahaan. Beda dengan asuransi konvensional yang seluruh dana premi yang didapatkan masuk ke perusahaan. Oleh sebab itu, dengan prinsip keadilan, keterbukaan, dan akuntabilitas, kinerja industri asuransi syariah dapat dikatakan pas di era pandemi ini. Di mana, praktik tersebut jelas porsi profitnya untuk usaha dan investor, tetapi juga tetap mampu menjaga kepentingan nasabah. Kemudian satu hal yang menjadi pertanyaan saat ini, yaitu bagaimana kondisi industri asuransi syariah yang terjadi di lapangan?
Saat konferensi pers virtual Kinerja dan Analisa Industri Asuransi Syariah Indonesia Triwulan I-2021, Senin (7/6/2021), Tatang Hidayat yang merupakan Ketua Umum Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) mengatakan bahwa dari total pendapatan premi sebesar Rp 5,82 triliun, sebanyak Rp 5,1 triliun disumbangkan oleh asuransi jiwa syariah. Kemudian sebesar Rp 501 miliar diperoleh dari premi asuransi umum syariah. Di samping banyaknya usaha pada roda ekonomi yang tumbang karena pandemi, industri asuransi syariah justru mengalami pertumbuhan pada triwulan pertama tahun 2021.
Menurut Ketua Bidang Riset dan Inovasi Asuransi Jiwa Syariah Ronny Ahmad Iskandar menyatakan, bahwa peningkatan kinerja industri asuransi syariah saat ini didorong oleh meningkatnya kesadaran masyarakat akan perlunya proteksi selama pandemi. Selain itu, meningkatnya kegiatan ekonomi syariah di masyarakat juga ikut membantu pertumbuhan. Pandemi ini secara tidak langsung seperti mempromosikan tentang pentingnya perlindungan apabila sewaktu-waktu ada kejadian yang tidak diinginkan. Hal tersebut, secara tidak langsung juga mendorong pertumbuhan asuransi syariah.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah asuransi jiwa syariah di Indonesia 2021 mencapai 7 perusahaan full syariah dan 23 unit syariah. Di samping itu, untuk asuransi umum syariah berjumlah 5 perusahaan full syariah dan 24 unit. Maka, total jumlah perusahaan asuransi dan reasuransi di Indonesia mencapai 62 perusahaan pada tahun 2021. Hal ini menunjukkan bahwa industri asuransi syariah terus mengalami pertumbuhan positif selama tahun 2021 dan diproyeksikan akan semakin meningkat. (Atep Saepul Mikdar)