Mengukir Prestasi Sedini Mungkin

Oleh Devi Nadila, mahasiswa STEI SEBI.

Sejatinya tidak ada kata “tidak mungkin” dan “terlalu dini” dalam hal mengukir prestasi. Ungkapan tersebut sangat cocok untuk Musa bin Abu Hanafi atau yang dikenal dengan Musa Hafidz cilik. Namanya terkenal ke khalayak ramai baik itu dalam negeri maupun luar negeri, seperti Malaysia dan Singapura setelah mengikuti dan meraih juara pertama pada program Hafidz Indonesia pada tahun 2014 di RCTI.

Selain menghafal Al Qur’an, ia juga menghafalkan matan-matan hadis penting seperti Arbain Nawawi dan lainnya. Musa menjadi pusat perhatian Karena meski kala itu berusia sangat muda yakni 5,5 tahun namun telah mampu menghafalkan 29 Juz dari total 30 Juz dalam Al Qur’an. Kemudian ia dikirim untuk mengikuti perlombaan hafalan Al Qur’an tingkat Internasional di Jeddah, Arab Saudi. Musa menjadi peserta paling termuda dalam ajang tersebut dan menduduki peringkat ke-12 dari 25 peserta.

BACA JUGA:  Tari Topeng Betawi: Tradisi Seni Teater Pertunjukkan Masyarakat Betawi

Pasca perlombaan, Musa berhasil menuntaskan hafalannya menjadi keseluruhan 30 Juz Al Qur’an, hal ini dapat terlaksana karena sebelum mengikuti ajang perlombaan tersebut sebenarnya ia hanya kurang dua surah saja. Atas prestasinya tersebut, pada bulan Agustus 2014 Musa memperoleh piagam penghargaan tingkat Nasional dari MURI sebagai hafidz Al Qur’an 30 Juz termuda di Indonesia.

Belum lagi kisah Yuma Soerianto, seorang programmer cilik meskipun ia menetap di Australia, ia dikenal memiliki darah Indonesia karena kekhasan nama belakang nya yaitu Soerianto. Kala itu, Yumna berusia 10 tahun sudah berhasil menciptakan beberapa aplikasi yang telah dipublikasikan di Play Store. Diantaranya Let’s Stack yaitu game yang melibatkan kotak susun, Hunger Buton salah satu aplikasi untuk membantu orang menemukan restoran terdekat untuk makan malam. Dan tiga lainnya adalah aplikasi Kid Calculator, Weather Duck, dan Pocket Poke.

BACA JUGA:  Roti Buaya: Tradisi Seserahan dan Simbol Kesetiaan Masyarakat Betawi

Yuma mengaku bahwa ia hanya mempelajari pembuatan aplikasi hanya secara otodidak. Pada saat itu ia masih berusia enam tahun, berawal dari rasa bosan terhadap pembelajaran di sekolah, Yuma memilih untuk belajar coding melalui materi yang ada di Youtube dan mempelajari bagaimana cara membuat aplikasi secara otodidak. Keberhasilan Yuma membuat nya tembus ke Worldwide Developer Converence (WWDC) di San Jose, Amerika Serikat. Dimana pertemuan tersebut dihadiri oleh pengembang aplikasi dari berbagai Negara, Yuma sendiri menjadi partisipan paling muda diantara yang lainnya. Tentu, hal tersebut menjadi suatu kebanggaan bagi masyarakat Indonesia atas prestasi Yuma.

BACA JUGA:  Mengenal Amicus Curiae dalam Sengketa Hasil Pilpres 2024

Dua kisah tersebut sangat membanggakan dan menginspirasi bagi anak-anak Indonesia yang lainnya, tentu keberhasilan Musa dan Yuma tidak terlepas dari peran orang tua yang bisa mengarahkan dan mendukung keinginan mereka, sehingga dapat mengukir prestasi sejak dini, sesuai dengan bidang yang mereka sukai.

Oleh karena itu, mari kita menanamkan rasa semangat dan giat untuk mempelajari sesuatu, terlebih lagi pada bidang yang disukai dan disiplin dalam menekuninya sedini mungkin. Tunjukkan pada dunia bahwa bangsa Inndonesia memiliki masa depan yang cerah lewat anak-anak bangsa nya yang memiliki segudang prestasi di tingkat Nasional maupun Internasional. []