Masalah Kesehatan Mental pada Guru, Siswa, dan Orang Tua di Masa Pandemi

Oleh: Rizky Amalia – Safira Indriani, Mahasiswa FKM Universitas Indonesia.

Rizky Amalia

Kondisi pandemi COVID-19 akan mempengaruhi kesehatan seseorang, baik itu kesehatan fisik maupun kesehatan mental. Tidak jarang akibat dari adanya kebijakan pemerintah telah mengubah berbagai aspek kehidupan, termasuk diberlakukannya social distancing, isolasi diri, karantina, dan melakukan segala aktivitas di dalam rumah. Kondisi ini berubah sangat cepat dan tidak diketahui kapan akan berakhir membuat sebagian masyarakat seringkali mengalami masalah kesehatan mental.

Pemberlakuan kebijakan physical distancing yang kemudian mendasari sektor pendidikan di Indonesia untuk melaksanakan kegiatan belajar di rumah dengan memanfaatkan teknologi informasi tidak jarang membuat para pelajar, tenaga pendidik, dan juga para orang tua murid merasa kaget. Kebijakan pemerintah untuk melakukan isolasi diri di rumah mengharuskan para pelajar dan tenaga pendidik untuk mengganti metode kegiatan belajar mengajar dari yang semula tatap muka menjadi daring.

Memang metode PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) ini bukan merupakan hal yang baru. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan tinggi pada bagian ketujuh tentang Pendidikan Jarak Jauh yaitu merupakan proses belajar mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media komunikasi berupa teknologi informasi dan komunikasi. Kemudian pada UU SISDIKNAS Pasal 31 ayat (2) tahun 2016 berkaitan dengan fungsi PJJ adalah untuk memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.

Undang-Undang yang telah dikeluarkan tersebut menandakan bahwa PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) memang sudah ada dalam sistem pendidikan di Indonesia, tetapi belum secara menyeluruh dilakukan. Namun dalam hal ini, metode PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) dijadikan sebagai respon utama dari Kemendikbud di masa darurat COVID-19 untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19.

Dalam pelaksanaanya, sistem PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) tidak selalu memberikan kelancaran bagi para penggunanya. Kegiatan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) ini sangat bergantung pada adanya akses internet dan juga jaringan, maka tidak heran jika masih banyak para pelajar dan juga guru/dosen yang berada di daerah mengalami masalah seperti adanya gangguan sinyal, dan juga jaringan internet pada daerah tempat tinggal yang belum memadai. Kemudian tidak seluruh siswa yang memiliki kuota untuk mengikuti daring, dan ada pula siswa yang tidak memiliki laptop atau komputer sehingga kesulitan untuk mengikuti kegiatan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh).

Untuk siswa di perkotaan sistem pendidikan ini tidak jadi permasalahan sebab tersedianya fasilitas. Namun di sisi lain, tugas-tugas yang menumpuk yang diberikan oleh guru/dosen dinilai terlalu membebani para pelajar dan dikhawatirkan menimbulkan gangguan kesehatan mental.

Komisioner KPAI (Komisioner Perlindungan Anak dan Ibu) di bidang pendidikan, Retno Listiyarti telah menerima sejumlah keluhan terkait dengan metode PJJ ini. Dalam kurun waktu 3 minggu dilaksanakannya PJJ, terdapat 213 pengaduan yang dilayangkan kepada pihak KPAI terkait dengan pelaksanaan metode PJJ. Pengaduan ini diterima KPAI dari semua jenjang pendidikan yaitu jenjang SMA sebanyak 95 pengaduan, jenjang SMK sebanyak 32 pengaduan, jenjang MAN sebanyak 19 pengaduan, 23 pengaduan dari jenjang SMP, 3 pengaduan dari jenjang SD, 1 pengaduan dari jenjang MTs dan TK. Setelah mendapatkan banyak keluhan ini, KPAI kemudian membuat survei PJJ dengan responden siswa dan juga guru pada tanggal 13-21 April 2020 yang disebar melalui platform ke seluruh provinsi di Indonesia. Responden yang mengisi survei ini sebanyak 1.700 siswa dan 602 guru/dosen. (KPAI, 2020)

Dari hasil survei tersebut yang banyak dikeluhkan adalah beratnya beban kerja siswa pada masa PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) ini seperti siswa SMA/SMK yang diminta mengerjakan 250 soal dari gurunya, siswa SD yang diminta membuat lagu tentang corona kemudian dinyanyikan dan divideokan, penugasan untuk merangkum materi buku pelajaran dan menyalin soal dari buku, dan lainnya.

Selain itu, kakunya jam penugasan yang juga banyak dikeluhkan, pasalnya jumlah tugas yang diberikan dari masing-masing guru tidaklah sedikit, sehingga siswa harus dengan segera mengerjakan tugas sebelum penugasan yang lain diberikan. Para pelajar juga seringkali merasa jenuh karena tidak dapat bersosialisasi secara langsung dengan guru/dosen, teman, dan juga lingkungan.

Hal ini tentu membuat anak merasa tertekan dan juga kelelahan akibat dari adanya tugas yang menumpuk dari masing-masing guru/dosen yang berbeda dengan masa pengerjaan yang relatif sempit. Kemudian hampir tidak adanya interaksi seperti tanya jawab langsung, dan guru menjelaskan materi. Guru hanya memberikan tugas dengan alasan tidak semua siswa memiliki akses kuota yang cukup. Hal ini tentu membuat anak merasa bingung juga tertekan. Apabila anak merasa tertekan dan terbebani maka akan mempengaruhi sistem imunitas seseorang dan akan menimbulkan gangguan kesehatan bukan hanya fisik tetapi juga mental. (KPAI, 2020)

Tidak jarang pula orang tua dari para pelajar ikut merasakan beban yang diberikan kepada pelajar, pasalnya orang tua dari pelajar harus menambah pekerjaannya dengan menjadi guru dirumah yang senantiasa mengajari dalam proses penyelesaian tugas dan juga memantau kegiatan belajar agar tetap efektif. Orang tua yang tidak terbiasa mendampingi anaknya dalam proses belajar mengajar lebih mudah mengalami stress karena fokusnya terbagi antara bekerja, mengurus rumah tangga, dan menemani belajar anaknya.

Pandemi ini juga menyebabkan sebagian pendapatan orang tua murid menurun sehingga pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan merupakan hal yang lebih utama daripada membeli kuota internet, padahal kuota internet merupakan hal yang paling dibutuhkan dalam metode PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) ini. Kesenjangan antara tentu menimbulkan kekhawatiran dan juga stress untuk memikirkan bagaimana cara memenuhi antara kebutuhan pangan dan juga pendidikan. Jika orang tua stres maka ini juga akan memberikan pengaruh juga kepada anak sebab anak akan terus dimarahi dan kemudian menjadi stres.

Selain itu, tidak semua tenaga pendidik yaitu guru/dosen kepemilikan dan penguasaan penggunaan teknologi untuk dimanfaatkan sebagai media belajar. Tidak adanya fasilitas dan pedoman yang diberikan dari pihak sekolah membuat para guru/dosen membuat guru/dosen merasa kebingungan. Perlunya pelatihan bagi para guru dalam pemanfaatan teknologi informasi sebagai media pembelajaran harus segera diberikan. Hal ini bertujuan agar kegiatan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) ini dapat bermakna dan dapat memberikan kompetensi dan kemampuan tertentu bagi para pelajar.

Retno sebagai KPAI di bidang pendidikan menyebutkan bahwa pemerintah daerah bersama-sama dengan guru/dosen harus melakukan pemetaan terhadap para pelajar dan juga kondisi keluarganya terkait dengan akses penuh terhadap komputer, internet, dan juga hp untuk mendukung pelaksanaan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh).(Anonim, 2020). Ini perlu dilakukan agar terciptanya keselarasan antara guru/dosen dengan para pelajar sehingga tidak menimbulkan kekhawatiran yang dapat mengganggu kesehatan mental dan menimbulkan stress.

Diberlakukannya metode PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) bukan hanya memberikan efek negatif bagi kesehatan mental seseorang tetapi juga efek positif. Dengan adanya sistem PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) maka juga akan memberikan banyak waktu luang yang dihabiskan untuk berkumpul dengan keluarga. Artinya ini juga akan mendekatkan hubungan emosional antara anak dan juga orang tua, meningkatkan optimisme bagi para pelajar untuk meningkatkan wawasan berpikir secara mandiri.

Walaupun pada awalnya merasa kebingungan, namun sebagian pelajar dan juga guru/dosen tetap merasa antusiasme dan memiliki motivasi yang tinggi dalam mempelajari teknologi informasi. Selain itu, PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) juga mengajarkan para pelajar untuk dapat bekerja keras secara mandiri dan juga fokus karena waktu untuk mengerjakan tugas lebih efektif karena tidak kebanyakan bercanda seperti pada kelas offline.(Sobron et al., 2019)

Solusi yang dapat dilakukan agar para pelajar dan juga guru/dosen dapat terhindar dari ancaman kesehatan mental akibat virus COVID-19 adalah dengan menerapkan manajemen waktu untuk menentukan prioritas tugas yang harus dikerjakan terlebih dahulu, selain itu mempersiapkan teknologi dan jaringan internet yang dibutuhkan selama proses PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) berlangsung, mengambil waktu untuk beristirahat sejenak dan melakukan kegiatan yang kita sukai (hobi) untuk meringankan beban pikiran seperti membaca buku, memasak, bermain game, senantiasa membaca informasi tentang wabah virus COVID-19 dari sumber terpercaya agar terhindar dari rasa kecemasan, dan jika stress yang dirasakan mengganggu kegiatan sehari-hari maka dapat melakukan konsultasi dengan psikolog.

 

Referensi:
Anonim. Hanya 8% Guru yang Paham Gawai (2020). Available at: https://www.kpai.go.id/berita/hanya-8-guru-yang-paham-gawai-untuk-pembelajaran-daring.
Kementerian RISTEKDIKTI (2016) ‘Kebijakan Pendidikan Jarak Jauh dan E-Learning di Indonesia’, E-Learning Indonesia, pp. 1–21. Available at: http://kopertis3.or.id/v2/wp-content/uploads/Paulina-Pannen-Kebijakan-PJJ-dan-E-Learning.pdf.
KPAI. KPAI terima 213 pengaduan PJJ mayoritas keluhkan beratnya tugas dari guru (2020). Available at: https://www.kpai.go.id/berita/kpai-terima-213-pengaduan-pembelajaran-jarak-jauh-mayoritas-keluhkan-beratnya-tugas-dari-guru-artikel-ini-telah-tayang-di-kompas-com-dengan-judul-kpai-terima-213-pengaduan-pembelajaran-jarak-jauh.
Sobron, A. . et al. (2019) ‘Persepsi Siswa Dalam Studi Pengaruh Daring Learning Terhadap Minat Belajar IPA’, SCAFFOLDING: Jurnal Pendidikan Islam dan Multikulturalisme, 1(2), pp. 30–38.