Kilas Balik 16HAKTP: KDRT di Masa Pandemi Menjadi Masalah Utama

Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) jatuh tepat pada tanggal 25 November hingga 10 Desember lalu. Tahun ini kampanye 16 HAKTP mengangkat tema “Orange the World: Fund, Respond, Prevent, Collect”. Tema ini diambil sejalan dengan meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga semenjak kebijakan lockdown di kala Pandemi. Pandemi COVID-19 tidak hanya berimbas pada ranah publik, ranah privat seperti keluarga pun terkena imbasnya. Badan Peradilan Mahkamah Agung menyatakan hingga bulan Agustus 2020 total angka perceraian di Indonesia mencapai 306.688 kasus. Sedangkan LBH Apik Jakarta menyatakan bahwa tingginya angka perceraian selama pandemi disebabkan oleh kekerasan dalam rumah tangga. Selama pandemi ini, LBH Apik telah menerima 180 pengaduan kasus KDRT.

Hal tersebut bermula ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait pembatasan keluar rumah dan menyebabkan seluruh keluarga terpaksa berkumpul di rumah dalam waktu yang cukup lama, baik yang harmonis maupun yang tidak. Selain itu, COVID-19 juga berdampak bagi perekonomian perusahaan, sehingga sebagian dari mereka terpaksa memberhentikan pekerjanya. Tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat berdampak pada kondisi psikis seseorang, mulai dari ketidakstabilan emosi, putus asa, hingga depresi. Perubahan emosi seseorang dapat memicu terjadinya keretakan dalam suatu hubungan yang berujung pada tindak kekerasan. Kebijakan PSBB ini memperparah kondisi keretakan dan kekerasan dalam sebuah rumah tangga. Hal ini karena seakan-akan terdapat dua insan yang hubungannya sedang tidak baik, namun harus terperangkap di dalam tempat yang sama dalam waktu yang lama.

PBB mengkategorikan KDRT sebagai salah satu bentuk kekerasan berbasis gender. Kekerasan berbasis gender sendiri merupakan perilaku yang membahayakan seseorang berdasarkan gendernya. Hal ini berakar dari ketidaksetaraan gender yang menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan menyakiti. Diperkiraan bahwa satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual selama hidupnya. Kekerasan berbasis gender dapat berupa kekerasan fisik, seksual, mental, dan ekonomi.

BACA JUGA:  Tari Topeng Betawi: Tradisi Seni Teater Pertunjukkan Masyarakat Betawi

KDRT dapat memberikan dampak yang sangat negatif, terutama bagi korbannya. Dampak yang dimaksud dapat berupa luka serius baik fisik maupun psikologis. Selain itu, apabila KDRT berlangsung cukup lama, kejadian ini dapat membatasi perempuan dalam memperoleh persamaan hak bidang hukum, sosial, politik dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa KDRT dapat menjadi sumber masalah sosial.

Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa upaya untuk menangani kasus KDRT seperti halnya; adanya tempat pengaduan, memberikan pendampingan bagi korban, memberikan rujukan pelayanan kesehatan terhadap korban, memberikan rujukan ke rumah aman, memberikan pelayanan psikososial, bantuan layanan hukum, dan bantuan penyelamatan diri. Namun sangat disayangkan, sebagian besar upaya yang diberikan oleh pemerintah masih bersifat kuratif dan rehabilitatif terhadap korban.

Tampaknya pemerintah Indonesia perlu melakukan upaya preventif untuk para pasangan yang ingin menikah, sehingga angka kejadian KDRT dapat menurun. Pemerintah hendaknya membuat kebijakan terkait kewajiban para pasangan sebelum menikah untuk membuat surat perjanjian pra nikah. Tujuan surat perjanjian tersebut adalah untuk melindungi hak dan kewajiban masing – masing pasangan serta menjadi pedoman nantinya apabila harus berurusan dengan hukum.

Selain itu, pemerintah sebaiknya mewajibkan para calon suami istri untuk melakukan bimbingan dan konsultasi pra nikah. Saat ini, bimbingan pra nikah di Indonesia hanya di beberapa KUA saja. Pasangan calon pengantin tetap dapat melangsungkan pernikahan meski mereka menolak untuk diberikan bimbingan dan konsultasi. Kewajiban bimbingan pra nikah diharapkan dapat memberikan edukasi kepada para calon pengantin terkait kehidupan pernikahan nantinya. Selain itu, ada baiknya jika setiap pasangan dibekali informasi mengenai badan hukum serta nomor-nomor yang dapat diakses jika terjadi hal yang tidak diinginkan.

BACA JUGA:  Roti Buaya: Tradisi Seserahan dan Simbol Kesetiaan Masyarakat Betawi

Kemampuan mengatasi konflik wajib dimiliki oleh setiap pasangan. Tak dapat dipungkiri lagi, banyak konflik tidak terduga yang terjadi selama pandemi ini. Untuk mencegah kekerasan saat terjadi konflik, hendaknya setiap pasangan memiliki komitmen untuk menyelesaikan masalah, tetap menghargai satu sama lain, mengelola amarah, serta meninjau ulang peran dan kesepakatan bersama. Selain itu, pasangan sebaiknya menggunakan prinsip “win-win solution” atau “agree to disagree”. Win-win solution adalah kerangka pikir dan hati yang selalu berusaha memperoleh keuntungan bersama dalam setiap interaksi manusia. Sedangkan agree to disagree adalah sepakat untuk hal-hal yang sebenarnya tidak disepakati.

Korban KDRT wajib meminta pertolongan saat kekerasan berlangsung. Untuk tindakan pencegahan, ada baiknya korban menyimpan nomor-nomor kerabat terdekat dan hotline pelaporan kekerasan, seperti Yayasan Pulih, LBH Apik, dan Komnas Perempuan pada daftar panggilan darurat. Ketika kekerasan berlangsung, apabila memungkinkan, korban dapat sesegera mungkin hubungi nomor-nomor panggilan darurat tersebut. Namun apabila tidak memungkinkan, korban dapat melakukan panggilan video dengan kerabat terdekat dan memberikan sinyal tangan untuk korban kekerasan domestik seperti yang dicanangkan oleh Canadian Women’s Foundation. Korban dapat memperlihatkan telapak tangan ke kamera, melipat ibu jari, dan kemudian lekukan keempat jari lainnya sehingga menutupi ibu jari.

BACA JUGA:  Majlis Ta’lim dan Jejaring Keilmuan Masyarakat Betawi

Konflik merupakan hal yang tidak dapat dihindari, terutama dalam hubungan rumah tangga. Namun, bentuk penyelesaian dengan kekerasan, apapun alasannya, tidak dapat dibenarkan.

Ditulis oleh Nadia Putri Salsabila & Nafa Audrey, mahasiswa FKM UI.

 

Referensi :
Protokol Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Pandemi COVID-19 [Internet]. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI; 2020 [cited 14 December 2020]. Available from: https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/Protokol_Penanganan_Kasus_Kekerasan_terhadap_Perempuan_di_Masa_Pandemi_COVID-19.pdf
Timur K. Kemenag – BP4 Perkuat Sinergi, Tekan Angka Perceraian – Kanwil Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Timur [Internet]. Ntt.kemenag.go.id. 2020 [cited 1 December 2020]. Available from: https://ntt.kemenag.go.id/berita/513708/kemenag–bp4-perkuat-sinergi-tekan-angka-perceraian
Penanganan Kasus KDRT. Presentation presented at; 2020; Jakarta.
Refugees U. Gender-based Violence [Internet]. UNHCR. 2020 [cited 14 December 2020]. Available from: https://www.unhcr.org/gender-based-violence.html
Sutrisminah E. Dampak Kekerasan pada Istri dalam Rumah Tangga terhadap Kesehatan Reproduksi. D3 Kebinanan FIK Unissula [Internet]. [cited 14 December 2020];. Available from: https://media.neliti.com/media/publications/220176-dampak-kekerasan-pada-istri-dalam-rumah.pdf
Dziddan A. Perjanjian Pranikah dan Hukumnya Ditinjau dari Perspektif Hukum Nasional [Internet]. Eprints.ums.ac.id. 2017 [cited 14 December 2020]. Available from: http://eprints.ums.ac.id/55572/10/10.%20NASKAH%20PUBLIKASI.pdf
Media K. Kemenko PMK: Calon Pengantin yang Tak Ikut Bimbingan Tetap Bisa Menikah Halaman all – Kompas.com [Internet]. KOMPAS.com. 2020 [cited 14 December 2020]. Available from: https://nasional.kompas.com/read/2019/11/19/15484781/kemenko-pmk-calon-pengantin-yang-tak-ikut-bimbingan-tetap-bisa-menikah?page=all
Nadia F. Tips Mencegah KDRT Terjadi Pada Masa COVID-19 – Yayasan Pulih [Internet]. Yayasanpulih.org. 2020 [cited 14 December 2020]. Available from: http://yayasanpulih.org/2020/04/tips-mencegah-kdrt-terjadi-pada-masa-covid-19/
Signal For Help | Use Sign to Ask for Help | Canadian Women’s Foundation [Internet]. Canadian Women’s Foundation. 2020 [cited 14 December 2020]. Available from: https://canadianwomen.org/signal-for-help/