Di masyarakat luas, penyakit HIV/AIDS masih sering dikait-kaitkan dengan perilaku negatif seperti seks bebas dan mengonsumsi narkoba. Stigma nergatif tersebut memberikan dampak yang dirasakan oleh ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) yaitu diskriminasi dalam berinteraksi sosial. Diskriminasi ODHA berarti pembedaan perlakuan terhadap ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).
Contoh dari praktik diskriminasi ODHA yaitu, keengganan untuk duduk bersebelahan dan berjabat tangan. Selain itu, diskriminasi terhadap ODHA tergambar dalam sikap sinis, perasaan ketakutan yang berlebihan, dan pengalaman negatif terhadap ODHA. Stigma mengenai orang yang terinfeksi HIV/AIDS layak mendapatkan hukuman akibat perbuatannya sendiri dan bertanggung jawab terhadap penularan HIV/AIDS menyebabkan ODHA menerima isolasi sosial, penyebarluasan status HIV, dan penolakan dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan seperti dunia pendidikan, dunia kerja, dan layanan kesehatan.
Menurut UNAIDS tahun 2017, 1 dari 4 orang positif HIV pernah mengalami pendiskriminasian di pelayanan kesehatan di 19 negara yang terdata. Terhitung pada tahun 2012 di seluruh dunia, ditemukan bahwa 8%-45% ODHA yang merupakan responden telah kehilangan pekerjaan atau sumber pendapatan mereka, 5%-27% ditolak untuk bekerja, dan 4%-28% telah ditolak promosi. Selain itu, 5%-54% di Malaysia melaporkan reaksi diskriminatif dari rekan kerjanya.
Di Indonesia tahun 2008, terdapat rumah sakit di Aceh yang menolak menjalankan pemeriksaan untuk ODHA. Tahun 2012, tidak ada yang mau memandikan jenazah ODHA di Bali. Tahun 2015, di kabupaten Semarang, seorang yang positif HIV/AIDS ditolak untuk berobat karena kondisi medisnya. Tahun 2018, 3 anak postif HIV/AIDS terancam diusir dari kabupaten Samosir. Yang terbaru, tahun 2019, sebanyak 14 siswa sekolah dasar yang mengidap HIV/AIDS di Solo terpaksa dikeluarkan dari sekolahnya.
Tingginya penolakan masyarakat dan lingkungan akan kehadiran ODHA membuat sebagian dari mereka harus hidup dengan menyembunyikan statusnya. Mereka menggagap dengan menyembunyikan statusnya, mereka lebih aman dan mudah dalam berinteraksi sosial. Bentuk penolakan yang dilakukan seperti pengucilan, keengganan untuk berkomunikasi, ejekan, serta pengusiran.
Stigma terhadap ODHA memiliki dampak yang besar bagi program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS termasuk kualitas hidup ODHA. Populasi berisiko akan merasa takut untuk melakukan tes HIV karena takut dikucilkan ketika terbukti reaktif. Selanjutnya, sebagian ODHA akan memutuskan menunda untuk berobat ketika sakit, yang tentunya akan berdampak pada semakin menurunnya tingkat kesehatan mereka dan penularan HIV tidak dapat dikontrol. Pada ibu hamil akan lebih besar dampaknya ketika mereka tidak mau berobat untuk mencegah penularan ke bayinya.
Tahun 2019, kementerian sosial telah mengukuhkan “Seribu Sahabat ODHA” yang merupaka upaya bersama dalam menghapus stigma negatif terhadap ODHA. Program “Seribu Sahabat ODHA” ini mengikutsertakan masyarakat dan siswa untuk bisa berpartisipasi aktif dalam menjaga ODHA dan membantu agar tidak ada stigma dan diskriminasi terhadap penderita. Harapannya program ini dapat juga menggandeng peran serta tokoh masyarakat, agama dan pendidikan.
Kementerian kesehatan juga mejelaskan pada kegiatan Dialog Interaktif Perayaan Hari AIDS Sedunia tahun 2019 bahwa dalam mengedukasi dan mempromosikan mengenai penyakit menular seksual yang di dalamnya termasuk HIV/AIDS, perlu diseimbangkan antara penyampaian mengenai hal-hal yang dapat menularkan penyakit dengan hal-hal yang tidak dapat menularkan penyakit tersebut. Hal ini penting sehingga masyarakat bisa lebih aware terhadapat penyakitnya namun tidak segan dalam berinteraksi dengan orang yang terjangkit penyakitnya.
Oleh karena itu, cara untuk menuntaskan diskriminasi ODHA yaitu, cari tahu tentang penyakitnya terutama cara penularan HIV/AIDS, berikan dukungan dan berdayakan ODHA, serta ajak orang lain untuk tidak mendiskriminasi ODHA. Jauhi penyakitnya, bukan orangnya!
*Astrid Anggraeni, mahasiswa FKM UI