Kontroversi Vaksin Dengvaxia di Indonesia

Seberapa banyak masyarakat di Indonesia yang mengetahui tentang adanya vaksinasi penyakit demam berdarah? Vaksin demam berdarah adalah hal yang asing bagi masyarakat Indonesia karena baru ditemukan pada tahun 2015. Penyakit demam berdarah sering dijumpai terutama bagi mereka yang tinggal di daerah beriklim tropis seperti Indonesia. Demam berdarah sendiri merupakan penyakit infeksi yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus. Gejala yang ditimbulkan terbilang bervariasi mulai dari demam tinggi, perdarahan, trombositopenia, dan syok. Jika tidak diberikan penanganan yang segera dapat mengakibatkan kematian.

Vaksinasi dapat dikatakan sebagai salah satu tindakan yang paling efektif pada suatu populasi dalam mencegah penyebaran suatu penyakit. Sanofi Pastuer merupakan salah satu perusahaan bidang kesehatan yang pertama kali menemukan vaksinasi untuk penyakit demam berdarah yang diberikan nama yaitu Dengvaxia. Vaksin Dengvaxia telah teruji klinis sebanyak 2 kali pada negara di Benua Asia (Indonesia, Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Thailand) dan pada negara di Benua Amerika Latin (Brazil, Colombia, Puerto Rico, Honduras, dan Meksiko).

BACA JUGA:  Majlis Ta’lim dan Jejaring Keilmuan Masyarakat Betawi

Vaksin tersebut diperkenalkan pada tahun 2015 dan pada tahun 2017, negara yang telah mendaftarkan Vaksin Dengvaxia berjumlah 19 negara termasuk Indonesia (Delrieu, 2017). Indonesia melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menyetujui izin beredar pada tahun 2016. Hingga 2019, banyak masyarakat Indonesia masih belum mengetahui tentang keberadaan dan manfaat terkait Vaksin Dengvaxia.

Sebelum mendaftarkan izin beredarnya vaksin tersebut, Indonesia telah mempunyai upaya untuk mengurangi insidens penyakit demam berdarah. Upaya tersebut dilakukan melalui fogging dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) 3M Plus. Fogging dinilai tidak efektif karena hanya membunuh nyamuk dewasa dan membutuhkan biaya yang besar dan PSN 3M Plus dinilai belum efektif juga karena minimnya sosialisasi kepada masyarakat, rendahnya kesadaran masyarakat dan sifat cepat berpuas diri masyarakat bila tidak ditemui kasus di daerah mereka.

BACA JUGA:  Roti Buaya: Tradisi Seserahan dan Simbol Kesetiaan Masyarakat Betawi

Namun beberapa tahun setelah diluncurkan, muncul fakta mengejutkan yang dikeluarkan oleh Sanofi Pasteur bahwa Vaksin Dengvaxia dapat menyebabkan penyakit yang lebih parah pada orang yang belum pernah terinfeksi virus dengue. Fakta tersebut membuat Filipina dengan segera menangguhkan program vaksinasi demam berdarah yang diikuti oleh Indonesia.

WHO mengeluarkan klarifikasi bahwa memang Vaksin Dengvaxia hanya diperuntukkan pada orang-orang yang sebelumnya pernah terinfeksi penyakit demam berdarah. Selain itu, vaksinasi cocok diberikan pada usia 9-16 tahun karena jika di bawah usia 9 tahun akan meningkatkan risiko untuk dirawat karena infeksi dengue dan meningkatkan risiko mendapatkan dengue yang berat.

BACA JUGA:  Tari Topeng Betawi: Tradisi Seni Teater Pertunjukkan Masyarakat Betawi

Dari pernyataan diatas, Indonesia melalui IDAI mengikuti rekomendasi WHO terkait Vaksin Dengvaxia. Hal ini dirasa merupakan keputusan yang tepat mengingat masih banyaknya daerah endemik penyakit demam berdarah dan kurang efektifnya upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi insidens penyakit demam berdarah. Berdasarkan studi Cost¬¬¬-Effectiveness, harga vaksin yang direkomendasikan mulai dari Rp824.471,52 – Rp1.034.257,48. Dengan harga vaksin tersebut, tentu akan menjadi penghalang untuk membuat seluruh masyarakat menggunakan Vaksin Dengvaxia, sehingga pemerintah dapat memberi solusi dengan melakukan subsidi agar harga vaksin sesuai dengan daya beli masyarakat.

Perdebatan yang terjadi di kalangan masyarakat sebenarnya mudah untuk diselesaikan dengan meningkatkan sosialisasi yang masif kepada masyarakat. Tentu hal tersebut merupakan PR kita bersama, tidak hanya pemerintah namun LSM maupun masyarakat.

Kevin Sebastian Santoso
Undergraduate Student of Public Health
Universitas Indonesia