KKB Syariah, Solusi Kredit Motor Tanpa Riba

Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) Syariah adalah kredit pembelian kendaraan yang menjadi produk unggulan dari bank syariah. Kredit ini akan di dasarkan pada sistem bagi asil dan tidak tergantung pada besaran suku bunga pasar. Dalam hal ini biasanya nasabah akan melakukan negosiasi profit dengan pihak bank, di mana biasanya hal tersebut ditentukan dalam jumlah/persentase tertentu yang besarannya telah dipatok secara khusus oleh pihak bank syariah.

Saat ini bukan hanya bank syariah saja yang menyediakan produk KKB syariah, namun ada beberapa lembaga jasa keuangan yang menggunakan sistem bagi hasil / syariah di dalam produk KKB mereka. Hal ini tentu berdampak baik, di mana masyarakat yang menginginkan layanan KKB syariah memiliki pilihan lain selain yang diberikan oleh bank syariah. (Cermaticom, 13/7/2016)

BACA JUGA:  Tumbuhkan Scale Up Usaha, BMM Gelar Pelatihan Digital Marketing Untuk UMKM Binaan

KKB Syariah membiayai kredit segala jenis motor dengan cara kredit motor syariah yang berbeda dengan leasing kredit motor lainnya. Kredit Motor Syariah diadakan untuk masyarakat umum yang ingin kredit motor secara syariah dengan cicilan sangat ringan serta bebas dari riba. Anda dapat kredit motor jenis apa saja dengan pilihan jangka waktu cicilan yang sudah sediakan oleh bank syariah.

Sebenarnya tata cara pembiayaan bank konvensional dengan bank syariah untuk hal-hal yang bersifat konsumtif sangat jauh berbeda secara prinsipil, meskipun secara matematis, boleh jadi ada kemiripan di antara keduanya. Pada bank konvensional, kredit yang digunakan adalah berdasarkan akad pinjaman, dimana nasabah memiliki kewajiban untuk mengembalikan dana pinjaman tersebut beserta bunganya di masa yang akan datang.

BACA JUGA:  CIMB Niaga Syariah Tingkatkan Customer Experience Nasabah Syariah melalui Dual Banking

Berikut adalah penerapan Kredit Kendaraan Bermotor Syariah seperti dilansir republika.co.id :

Pada KKB Syariah yang digunakan adalah akad murabahah (jual beli), ijarah wa iqtina (sewa yang diakhiri oleh perubahan kepemilikan dari pemilik barang kepada penyewa) atau pada sebagian bank ada yang menerapkan pola musyarakah mutanaqishah. Pada murabahah, bank bertindak sebagai penjual barang, sedangkan nasabah adalah pembelinya. Bank dan nasabah kemudian bersepakat untuk menentukan berapa besar marjin keuntungan yang dapat dinikmati oleh bank sebagai penjual. Katakan, “x persen”. Maka kewajiban nasabah adalah membayar kepada bank, biaya pokok pembelian plus marjin keuntungannya. Misal harga rumah Rp 1 milyar, dan marjin keuntungannya 10 persen. Maka kewajiban nasabah adalah Rp 1,1 milyar. Secara matematis mirip dengan bunga bank, tetapi secara akad berbeda sangat signifikan.

BACA JUGA:  Rekor! 2 Saham di BEI Anjlok hingga Rp 1

Sedangkan ijarah adalah akad sewa, di mana nasabah diharuskan membayar biaya sewa secara berkala kepada bank syariah dalam kurun waktu tertentu sebagai reward karena telah menggunakan barang tertentu (misal motor). Selanjutnya, dalam skema ijarah wa iqtina, bank kemudian menyerahkan kepemilikan barang tersebut kepada nasabah setelah berakhir masa sewanya. Sementara pada skema musyarakah mutanaqishah, bank dan nasabah sama-sama berkontribusi modal dalam pembelian barang (misal rumah). Katakan, proporsi modal bank 80 persen dan nasabah 20 persen. Dengan pola ini, maka motor tersebut menjadi milik bersama. Kemudian nasabah diberikan hak untuk membeli proporsi kepemilikan bank secara bertahap dalam kurun waktu tertentu, sehingga prosentase kepemilikan nasabah terhadap rumah tersebut menjadi 100 persen. (Suyasandi Abdi)