Seberapa Penting Pengobatan Massal Penyakit Kaki Gajah ?


Oleh : Fadiah Qisthina Hidayat (FKM UI)

Penyakit kaki gajah (Lymphatic Filariasis) merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh tiga spesies cacing filarial yaitu Wucheria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Culex, Anopheles, Mansonia, dan Armigeres. Di Indonesia, lebih dari 70% kasus filariasis di Indonesia disebabkan oleh Brugia malayi. Larva cacing akan masuk ke tubuh manusia dan menyerang saluran serta kelenjar limfe. (Permenkes No.94, 2014)

Penyakit Filariasis dapat ditemukan di daerah khatulistiwa, terutama di dataran rendah. Namun tidak tertutup kemungkinan, Filariasis dapat ditemukan di daerah bukit yang tidak terlalu tinggi. Menurut data kumulatif dari subdit Filariasis dan Kecacingan, Direktorat Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kemenkes penderita Filariasis di Indonesia sejak tahun 2002-2014 cenderung meningkat yaitu sebanyak 8.361 kasus. Selain itu, Provinsi dengan kasus filariasis kronis dengan cacat tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur, Aceh, dan Papua Barat.

Penyakit Filariasis ini termasuk penyakit menahun atau kronis. Masa pertumbuhan parasit cacing sekitar 7 bulan dalam tubuh manusia. Filariasis ditandai dengan demam berulang selama 3-5 hari. Demam dapat hilang apabila istirahat dan akan timbul lagi setelah bekerja berat. Selain itu gejala lainnya adalah pembengkakan kelenjar getah bening di daerah lipatan paha, ketiak tampak kemerahan, panas, dan sakit, pembesaran tungkai, lengan dan payudara, serta warna kemerahan dan panas pada kantong buah zakar. Apabila penyakit ini tidak segera diobati, maka dapat menimbulkan cacat menetap seumur hidup berupa pembesaran kaki, lengan, dan alat kelaminnya dan akhirnya berdampak pada penderita Filariasis menjadi tidak dapat bekerja secara optimal dan hidupnya akan selalu bergantung kepada orang lain. (Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI, Menuju Eliminasi Filariasis 2020, 2014)

Penyakit Filariasis dapat dicegah dengan pemeriksaan berkala terhadap masyarakat dan penatalaksanaan lingkungan agar tidak menjadi tempat berkembangnya nyamuk yang membawa larva filariasis. Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009, Indonesia telah menetapkan Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan penyakit menular. Elimiinasi Filariasis diwujudkan dalam bentuk Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis di daerah endemis. Kegiatan POPM Filariasis bertujuan untuk mematikan semua mikrofilaria yang ada di dalam darah penduduk secara bersamaan dan mencegah makrofilaria (cacing filaria dewasa) menghasilkan mikrofilaria baru, sehingga rantai penularan Filariasis dapat diputus. (Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI, Menuju Eliminasi Filariasis 2020, 2014)

Menurut data subdit Filariasis dan Kecacingan Kemenkes RI sampai tahun 2014, dari 511 kabupaten/kota di Indonesia terdapat 241 kabupaten/kota yang diidentifikasi sebagai daerah endemis Filariasis. Kemudian, dari 241 kabupaten/kota endemis filariasis tersebut, hanya 46 kabupaten/kota yang telah melaksanakan POPM Filariasis. Hal ini menunjukan bahwa cakupan POPM Filariasis masih tergolong rendah.

Beberapa faktor rendahnya cakupan POPM adalah kurangnya kepatuhan dan kepedulian masyarakat untuk minum obat filariasis. Menurut penelitian Offel dan Anto di Ghana, angka kepatuhan masyarakat untuk minum obat filariasis tergolong rendah hanya mencapai 43,8 %. Begitu pula di Distrik Bijapur-Karnataka, cakupan pemberian obat filariasis mencapai 86 % dari jumlah penduduk sasaran dan hanya 46 % diantaranya yang minum obat filariasis. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Mara Ipa di Kabupaten Bandung, terdapat ketakutan pada masyarakat yang diakibatkan oleh adanya kasus kematian setelah mengkonsumsi obat massal pencegahan filariasis. Hal ini berpengaruh signifikan terhadap sedikitnya cakupan pengobatan massal filariasis. Ditambah lagi, pemberitaan media yang tidak seimbang mengenai kematian warga yang diduga merupakan Kejadian Ikutan Pasca Pengobatan (KIPP). Padahal untuk mencapai eliminasi filariasis, cakupan pengobatan harus mencapai lebih dari 65 % dari populasi penduduk yang berisiko. (Mara, 2016)