
Ayah, sosok yang amat penting dalam hidupku. Ayah menjadi tulang rusukku yang sempurna. Jika diibaratkan seperti sebuah rumah, Ayah adalah pondasi rumah yang tegak dan kuat. Rumah tanpa pondasi tidaklah mungkin bisa berdiri dengan kokoh, bahkan jendela dan pintu tidak mungkin ada sebelum pondasi dibentuk. Tanpa Ayah, aku bukan siapa-siapa. Nafasnya adalah hembusanku, keringatnya adalah sumber kehidupanku, dan kebahagiaannya adalah kebagiaanku.
Ketulusan dan keikhlasan hati membuat ia tidak pernah mengenal kata lelah. Ia bekerja keras mencari nafkah dari pagi hingga malam bahkan sampai pagi lagi. Ayah rela bekerja di bawah teriknya matahari, bertahan dalam dinginnya malam dan air hujan. Ayah adalah superhero yang amat luar biasa. Ayah pontang-panting mencari uang untuk membiayai kuliahku dan kebutuhan hidupku. Bahkan, disaat aku kehilangan arah, Ayah sebagai sandaran dan petunjuk arah. Disaat orang lain menghina dan membenciku, Ayah tetap berada disisiku. Dia juga yang memberi solusi setiap kali ada masalah. Sebaliknya, dia selalu menegur, menasihati, ataupun memarahi ketika aku salah. Rasa cinta dan kasih sayang yang diberikan kepada anak dan istrinya amat berharga daripada nyawanya sendiri.
Ayah mengajariku bagaimana beretika, baik dalam keluarga maupun lingkungan masyarakat. Anaknya harus memiliki kepribadian yang baik dan berbudi pekerti. Sopan santun dalam bertutur, patuh kepada nasihat orang tua, menghargai dan menghormati orang lain, taat dalam beribadah, dan selalu mengamalkan hal-hal kebaikan.
Jalan hidup yang sulit dan berliku ia tempuh dengan penuh perjuangan. Apapun akan dilakukan agar anaknya sukses dan berhasil. Doanya selalu menyertai setiap langkahku. Ayah mengajariku bagaimana bersikap dan sabar dalam menghadapi roda-roda kehidupan. Ayah juga yang mengajariku bagiamana bersosialisasi dengan publik dan memiliki banyak teman. Ayah tidak pernah memanjakan anak-anaknya dan membedakan satu sama lain. Didikannya yang tegas dan mengutamakan kejujuran dalam keluarga. Perlu diketahui, kejujuran menjadi suatu landasan yang sangat penting.
Ayah memiliki kesabaran tingkat tinggi, ia tidak pernah melukai anak-anaknya. Sekalipun Ayah pernah marah atas sikapku yang melukai hatinya yaitu ketika aku duduk di bangku SMA. Aku tidak mengangkat telepon darinya karena ponselku berada di dalam tas dan nada deringnya dimatikan. Ayah sudah menghubungiku sebanyak 25 kali. Karena saat itu, aku sudah ada janji dengan Ayah di depan stasiun Lenteng Agung untuk urusan tertentu. Sedangkan, aku kerja kelompok di rumah teman pada waktu yang sama sehingga aku lupa untuk bertemu dengan Ayah.
Setelah 1 jam, aku baru menyadari bahwa hari itu ada janji dan segera memeriksa ponselku. Ternyata, ada panggilan masuk dan pesan singkat dari Ayah. Aku sangat terkejut dan merasa bersalah. Sejenak wajahku pucat dan nafasku tidak terkendali. Aku bergegas menuju lokasi pertemuanku dengan Ayah. 45 menit kemudian, aku sampai di lokasi dan Ayah terlihat sangat marah. Aku segera menghampirinya dan menundukkan kepalaku karena takut bagaimana komentar Ayah. Mulutku gemetar tak bisa berkata-kata. Kata maaf pun tidak bisa terucap. Saat itu juga, Ayah memarahiku dan menasihatiku. Aku pun menangis. Ayah bergegas kembali menuju kantor dan meninggalkanku disana seorang diri. Aku hanya diam melihatnya pergi. Kejadian ini bisa dijadikan sebagai pengalaman tersendiri agar tidak melupakan janji bahkan mengingkarinya.
Berkat didikan dari Ayah, aku bisa seperti sekarang, merasakan bagaimana menjalankan peran sebagai mahasiswa. Walaupun Ayah hanya tamatan SMP, tetapi aku tidak pernah ragu apalagi malu dengan kerja keras Ayah selama ini. Ayah merupakan laki-laki bertanggung jawab. Setiap kali ada masalah, dia hanya memendam dan berusaha menyelesaikannya sendiri. Aku hanya bisa berdoa dan berserah diri kepada Tuhan semoga Ayah sehat selalu, berkah umurnya, rezekinya, dan selalu bersyukur. Aku ingin menjadi anak yang berbakti, walaupun jasa-jasamu tidak bisa terbalas satu per satu.
Aku sangat menyayangimu walaupun rasa sayang itu tak bisa kuucapkan secara langsung. Aku tidak kuat mengatakannya, karena aku hanya seorang anak yang selalu membuat Ayah repot. Tetapi aku tidak pernah lupa berdoa agar segala urusanmu dilancarkan. Jika ayah kembali kepada pangkuan Tuhan, aku berharap pendamping hidupkun nanti bisa bertanggung jawab dan setia seperti Ayah. [Devita Fitriyanti/PNJ]