
Ada banyak hal didunia ini yang tak bisa diungkap dengan kata-kata, terlebih ketika ia berkaitan dengan rasa, entah itu rasa marah, rasa benci ataupun rasa sayang. Namun apa yang tak terucap bukan berarti tak dirasa. Seperti apa yang aku rasa tentang bapak yang tak pernah bisa aku ucapkan.
Aku selalu berharap bapak tahu bahwa aku sangat mencintainya karena aku tidak pernah berani mengungkapkannya. Walaupun kami dekat, tetapi aku selalu canggung untuk mengungkapkan rasa cintaku. Terkadang perbuatanku malah terlalu cuek untuk bapak bisa mengira bahwa aku mencintainya, jadi aku sering mencoba menyelipkan tindakan kecil yang dapat menyenangkan hatinya agar dia tahu bahwa aku mencintainya.
Bapak, sesosok lelaki kurus nantinggi dengan kulit sawo matang yang sering tersengat matahari, juga rambut lurus klimis hitam pekat. Sosok yang kupanggil dengan sebutan “bapak” sejak aku terlahir ke dunia. Sosok yang lebih banyak muncul di memori masa kecilku ketimbang ibu. Sosok yang kata orang, tidak cukup baik menjadi orangtua karena tidak bisa menafkahi keluarga, mencukupi kebutuhan aku, ibu, dan kedua abangku hingga ibuku harus bekerja juga.
Aku sangat benci mendengar penilaian mereka terhadap bapak. Rasanya inginku teriakan kepada mereka bahwa bapakku tidak seperti itu. Bapak rela berbuat apa saja demi anak-anaknya. Hanya kurasa nasib baik yang kurang berpihak kepadanya sehingga pekerjaannya kurang mengahasilkan upah yang layak untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Lalu memang kenapa jika ibu jadi harus bekerja? Menurutku mungkin takdir keluargaku memang seperti ini. Ibu yang menafkahiku dan bapak yang merawatku. Tolong jangan hina bapak.
Aku sayang bapak. Tidak peduli jika keluarga, bahkan ibuku sendiri meremehkannya. Mereka tidak tahu apa-apa. Ibu tidak pernah ada di rumah untuk melihat apa yang bapak ajarkan kepadaku, bagaimana bapak mati-matian mengurusku. Apa guna materi kalau aku besar tanpa didikan dan kasih sayang orangtua? Bahkan bapak yang suka ibu hina, mati-matian membela ibu dan berkata memang bapak yang salah agar aku tidak membenci ibu.
Aku sayang bapak. Tidak peduli bahwa bapak tidak bisa menghasilkan uang banyak seperti bapak teman-temanku, yang penting aku bisa digendong di punggung bapak sambil bernyanyi dalam perjalanan kami, saat bapak mengantarku ke sekolah sewaktu TK, yang belum tentu bapak teman-temanku bisa lakukan.
Aku sayang bapak. Tidak perduli bahwa dulu, setiap pulang sekolah, aku tidak bisa jajan karena bapak tidak mengantongi cukup uang. Melihat senyum merekah bapak yang telah menunggu untuk menjemputku pulang saat keluar dari kelas sudah cukup membuatku bahagia.
Aku sayang bapak. Tidak peduli bahwa sepulang kuliah aku harus langsung pulang, menghiraukan ajakan temanku untuk bermain karena aku ingin mengurus bapak yang sakit waktu itu. Mencuci rambutnya karena tangan kiri bapak diperban. Memasangkan baju bapak perlahan karena tidak ingin mengenai tangan kirinya. Menyuapi bapak makan serta meminumkan obat hingga bapak mengucapkan, “Anak kesayang bapak ini,” dengan senyum terlukis dan tak tampak seperti orang sakit yang dapat melegakan hatiku.
Aku sayang bapak. Hingga tak pernah terbayang dalam benakku jika kehilangannya. Bahkan, aku suka melakukan hal yang konyol, seperti melihat perut bapak yang naik turun atau merasakan napas di hidungnya dengan jariku saat bapak tidur, hanya untuk memastikan bahwa bapak masih bernapas, masih berada di dunia ini bersamaku, masih menungguku hingga besar dan sukses nanti.
Aku sayang bapak. Hingga aku terus berusaha untuk berprestasi di sekolah agar Bapak bisa membanggakanku pada teman-teman dan keluarga, bahwa anak bungsu dan perempuan satu-satunya ini, yang telah ia besarkan sedari kecil, telah tumbuh menjadi anak yang dapat dibanggakan, agar bapak tahu perjuangannya selama ini tidak sia-sia, bahwa walaupun dengan minimnya materi, aku tetap bisa tumbuh dengan baik karena bapak.
Aku sayang bapak dan akan selalu sayang bapak. Mimpiku hanya ingin membahagiakan bapak, membuatnya bangga melihatku bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Meski mungkin kelak akan ada lelaki lain yang datang dan mendampingi hidupku, tetapi bapak akan selalu punya tempat tersendiri di hatiku yang tak akan tergantikan oleh siapapun. Bapak akan selalu menjadi prioritas utamaku, karena tanpa bapak tak akan ada aku yang sekarang. (Ester Lidya Norisa/PNJ)