Tidak ada yang memimpikan sebuah perceraian pada setiap hubungan, tetapi ketika berbagai masalah muncul bagi mereka yang sudah tidak tahan lagi dengan hubungannya memilih jalan keluar dengan bercerai, tanpa memikirkan dampak untuk anaknya.
Ketika perceraian terjadi, kebanyakan dari mereka akan sibuk dengan kehidupan pribadi dan melupakan kewajibannya untuk mengurus anak. Anak sangat membutuhkan adanya sesosok Ayah dan Ibu yang akan mempengaruhi perkembangan dan pertembuhanya hingga dewasa nanti.
Ibu yang melahirkanku membawaku pergi ketika aku masih bayi dan bercerai dengan Ayah. Tetapi saat aku masih bayi Ibu sibuk dengan pekerjaannya sehingga aku dirawat oleh Nenek dan dibawa pulang ke rumah Nenek. Hingga suatu saat aku telah menginjak di usia balita Ibu pulang kerumah Nenek.
Saat itu aku tidak mengenali siapakah sosok wanita ini, hingga ketika Ibuku memanggilku dengan nama panggilanku sembari berkata “Ama, sini Ibu pulang. Sini Ibu gendong”. Akupun menjawab “Ih siapa Ibu? Gamau!” Mungkin, jawabanku saat itu sangat melukai hatinya. Raut wajahnya segera berubah menjadi sedih dan matanya berkaca-kaca. Tak pantang menyerah Ibupun berkata lagi “Ini Ibu nak, Ibumu yang melahirkanmu” dengan suara yang menahan tangis. Tetapi tetap saja aku tidak mengenalinya.
Ibu terus mendekatiku, ia tak pantang menyerah dan berusaha mengambil kembali hati anaknya. Hingga akhirnya, akupun bisa dekat kembali dengan Ibuku. Perjuangan Ibu tidak berakhir disitu saja. Ibu kembali menikahi pria lain, ia menikahi pria tersebut agar aku dapat menemukan sesosok ‘Ayah’ yang dapat mengayomi semua kebutuhanku. Hingga ia rela tinggalkan pekerjaannya demi Ibu tinggal bersamaku.
Semua yang telah Ibu rencanakan tidak berjalan lancar, Ibu lebih sering sendiri dan Ibu lebih sering merintih di tengahnya malam. Sering kali kudengar pertengkaran antara Papa tiriku dan Ibuku. Aku hanya bisa menangis didalam kamar dan menutupi telinga dengan kedua tanganku.
Hingga suatu ketika aku sedang berjalan-jalan ditaman bersama Ibu dan kami membeli makanan dipinggir jalan, aku merasa iri ketika melihat seorang anak perempuan yang umurnya sama denganku terlihat sangat bahagia karena didampingi kedua orang tuanya yakni Ayah dan Ibu. Aku sangat merindukan adanya Ayah disampingku.
Setelah bertahun-tahun Ibu menjalin sebuah pernikahan dengan pria yang ia cintai. Ibu tiba-tiba saja meninggalkan aku dan lebih memilih Papa. Aku menangis sekencang-kencangnya ketika Ibu akan pergi meninggalkan aku. Bagaimana bisa ia lebih memilih pria lain dibandingkan aku darah daging dia sendiri.
Mulai hari itu tiba-tiba saja hatiku terkunci, mulai hari itu juga aku memutuskan untuk membenci Ibuku. Saat itu juga semuanya mempengaruhi kehidupan pribadiku. Aku sangat ketakutan jika bertemu laki-laki dan tidak pernah mau berinteraksi dengannya. Aku tidak fokus dalam pembelajaran disekolah. Aku tidak bisa berhubungan baik dengan teman-teman sebayaku. Mengapa Ibu sangat tega sekali meninggalkanku yang saat itu aku sedang membutuhkan bimbingan untuk melewati rintangan masalah kehidupan.
Untungnya itu tidak berlangsung lama, akhirnya aku bisa beradaptasi dan memiliki banyak teman. Jika Ibu menelponpun terkadang aku biarkan, yang kupikirkan hanya main, main, dan main. Aku memiliki hobi baru yaitu berbelanja dengan teman-teman perempuan seusiaku. Dan tiba-tiba Ibu menelponku, dan ia bertanya dengan suara tersedu-sedu “Ama, apakah Ibu harus bercerai dengan Papa?”, dengan nada amarah aku menjawab “Kalo Ibu sayang ama harusnya dari dulu kayak gitu”. Saat itu aku tidak berpikir bahwa kata-kata itu akan menyakitinya. Yang kupikirkan hanyalah keselamatan Ibu, karena aku tidak mau jika Ibu terus disakiti oleh Papa yang selalu menyakitinya dengan caranya yang selalu mengabaikan Ibu.
Beberapa bulan kemudian, Ibu bercerai dengan Papa. Bukannya senang tetapi saat itu aku merasa sangat jengkel ketika Ibu selalu menceramahiku dan berkata kepadaku. Hatiku berkata mengapa tidak dari dulu Ibu ada disampingku untuk memberitahu segala hal, mengapa baru seakarang?
Hatiku mengeras, aku selalu membentak perkataan Ibu jika nasihatnya tak sejalan dengan pikiranku. Aku selalu marah dengan semua ucapan yang dia katakan, aku selalu menentang semua perkataannya. Saat itu aku belum tersadar, aku selalu merasa paling benar. Aku tidak memikirkan perasaannya sama sekali. Hingga pada suatu malam saat semua orang terlelap, terdengar suara rintihan yang sangat memilukan. aku melihatnya sedang menangis dan aku melihat bibirnya yang sedang mengucap doa, juga terdengar bahwa ia meminta agar aku bahagia dan diberikan keselamatan. Hatiku bergetar, mengingat semua yang aku lakukan kepadanya akhir-akhir ini membuat hatinya sakit.
Aku bersembunyi dibalik selimut, dan aku menangis. Aku baru sadar bahwa perlakuanku kepada Ibuku ini sangat tidak bisa diampuni. Aku hanya bisa menangis dan berpikir bagaimana bisa anak perempuan satu-satunya milik Ibu ini tidak bisa membuatnya tersenyum dan membahagiakannya?
Aku baru sadar selama ini, ia mengorbankan pekerjaannya demi aku agar dapat merasakan kasih sayang seorang Ayah, ia rela menahan lapar untuk memberi makanannya demi aku. Tetapi aku? Hanya memikirkan diri sendiri tanpa memikirkan perjuangan Ibu untuk membesarkanku.
Akupun perlahan mulai mengubah sikapku kepada Ibuku, aku tidak mau menyesal lagi setelah kehilangan Ayah yang pergi terlebih dahulu dari dunia ini. Aku mulai berusaha menuruti apa yang ia katakan, aku mulai berusaha menahan amarah, dan akupun mulai berusaha memeluknya lagi seperti dahulu.
Perjuanganku tidak sia-sia, setelah aku sering mengekspresikan perasaan cinta dan sayangku lagi kepada Ibu. Kini raut wajahnya benar-benar terlihat jelas bahagia, ia bisa tertawa lepas.
Ibu selalu berjuang dan selalu mengorbankan segalanya untukku seorang anak semata wayangnya ini. Aku sangat beryukur memiliki Ibu yang tangguh dan kuat sepertinya. Aku harap Ibu akan terus hidup bersamaku hingga sukses dan dapat membahagiakannya. Tetapi tetap apapun yang kuberi jika aku sudah sukses nanti, tidak akan menggantikan semua kerja keras Ibu yang telah memperjuangkan dan membesarkan aku.
Ibu, yang kumiliki saat ini hanyalah Ibuku. Dan aku tidak akan menyia-nyiakan lagi orang yang aku sayang. Aku akan mencintai Ibu, dengan segenap hatiku. Terimakasih Ibu atas segala pengorbananmu dan perjuanganmu. Aku sayang padamu Ibu. [Salma Nafisa Aulia/PNJ]