Tantangan Utama Perbankan Syariah

Ilustrasi. (Istimewa)

Krisis keuangan mendorong pertumbuhan industri keuangan syariah, dimana aset industri telah tumbuh 19% dan 21% masing-masing pada 2011 dan 2012, dibandingkan dengan pertumbuhan perbankan konvensional yang kenaikannya kurang dari 10% diseluruh dunia. Hal ini menunjukkan bahwa industri keuangan islam telah diterima oleh pengguna diseluruh dunia. Sehingga menyajikan potensi yang sangat besar.

Ernst & Young World Islamic Competitiveness Report 2013-2014 memperkirakan bahwa aset perbankan syariah internasional Malaysia diantisipasi meningkat lebih dari US $390 miliar atau RM 1,27 triliun pada tahun 2018 dari US $125 miliar atau RM 410 miliar pada 2012. Sedangkan menurut sebuah publikasi, the Global Islamic Financial Review, selama 30 tahun terakhir, aset sektor keuangan islam telah berkembang dari hampir tidak ada menjadi lebih dari RM 1,6 triliun.

Sejak awal pendirian bank islam pertama di Malaysia, tahun 1983. Malaysia mengalami peningkatan permintaan untuk layanan perbankan syariah dari konsumen. Seiring dengan itu pula, adanya peningkatan tenaga ahli yang dibutuhkan industri perbankan syariah. Akan tetapi, industri perbankan syariah menghadapi suatu tantangan. Yaitu ditemukannya suatu ketidakcocokan tenaga profesional yang dibutuhkan oleh bank dengan apa yang ditawarkan dari pasar.

BACA JUGA:  Rupiah Hari Ini Jadi Mata Uang Terburuk di Asia

Islamic financial institutions (IFI) mengungkapkan, bahwa setiap perusahaan islam secara khusus perlu memiliki model tata kelola yang handal dan strategis, untuk mendorong pelaksanaan yang kuat dan efektif secara corporate governance dalam lingkungan islam. Salah satu caranya dengan memastikan operasional dan jasa yang ditawarkan sesuai dengan syariah compliant. Sehingga, peran audit syariah sangat penting untuk memastikan bahwa perbankan syariah dapat menegakkan syariah compliant, dan pada saat yang sama dengan adanya peran audit syariah ini akan meningkatkan kepercayaan stakehorder terhadap sistem perbankan syariah tersebut.

Fungsi audit syariah dari perspektif islam jauh lebih penting dan halus, karena memanifestasikan akuntabilitas auditor yang tidak hanya kepada para pemangku kepentingan, tapi akhirnya kepada sang pencipta, Allah SWT. Bahwa setiap tindakan dan pikiran seseorang selalu diawasi oleh Allah, hal ini sejalan dengan konsep Muroqabatullah. Hal ini merupakan fundamental islam, sebagai mana disebutkan dalam q.s An-Nisa’ ayat 86, yang artinya ; “…pasti Allah akan memperhitungkan segala sesuatu”.

BACA JUGA:  SCG Lipatgandakan Limbah Industri dan Biomassa Jadi Bahan Bakar & Bahan Baku Alternatif

Menurut Shariah Governance Framework (SGF), yang diperkenalkan oleh BNM pada tahun 2010, Audit syariah didefinisikan dalam ayat 7.7 sebagai:

“penilaian berkala yang dilakukan dari waktu ke waktu, untuk memberikan penilaian independen dan jaminan obyektif, yang dirancang untuk menambah nilai dan meningkatkan derajat kepatuhan dalam kaitannya dengan operasi bisnis lembaga keuangan islam, dengan tujuan utama untuk memastikan sistem pengendalian internal yang efektif terhadap kepatuhan Syariah”(BNM, 2010; hal.23).

Dalam menghadapi tantangan utamanya, industri perbankan syariah melalui Shariah Governance Framework (SGF) menyatakan, bahwa sejauh ini peran audit syariah dilakukan oleh audit internal dari bank islam itu sendiri, yang telah memperoleh pelatihan dan pengetahuan syariah yang cukup. SGF juga menunjukkan, bahwa kompetensi auditor syariah mirip dengan persyaratan kompetensi auditor internal, hanya saja adanya pelatihan tambahan dalam hal syariah. Hal ini dapat diterima untuk saat ini karena pelatihan khusus dalam audit syariah tidak tersedia di lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Senada dengan ini, industri perbankan syariah di Indonesia pun memiliki nasib yang sama dengan apa yang hadapi Malaysia. (Nuraini)