Pengelolaan Zakat Perusahaan

Ilustrasi.

Oleh: Zaskia Al-faeni Hayati, School of Islamic Economics SEBI

Pembahasan terkait zakat sudah menjadi hal yang umum, sedangkan yang menjadi pembahasan secara khusus yaitu akuntansi zakat yang sedang berkembang di lingkungan akademik. Hal ini dirasakan oleh banyak orang bahwa zakat tidak hanya terbatas pada ranah pendidikan agama islam saja melainkan sudah melebar ke ranah ekonomi dan sosial.

Seperti yang telah diketahui, bahwa zakat merupakan rukun Islam yang ketiga. Di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, kata zakat sering berulang kali di bacakan atau ditemukan. Al-Qardhawi mengatakan bahwasannya beberapa dari sarjana Muslim menemukan 82 tempat di dalam Al-Qur’an yang menyebutkan terkait penjelasan mengenai zakat. Sedangkan menurut Al-Qardhawi sendiri kata tersebut dinyatakan sekitar 30 kali, sementara 27 kejadian yang menjelaskan secara bersamaan dengan perintah shalat. Hal ini adalah bukti betapa sangat pentingnya zakat dalam ajaran Islam.

Pada umumnya zakat dianggap sebagai alternatif penting untuk memecahkan salah satu masalah ekonomi sosial yang paling lazim di dunia, yaitu masalah kemiskinan. Di beberapa Negara-negara Muslim yang ada di seluruh dunia, seperti di Indonesia dan Malaysia, penghimpunan zakat telah menunjukkan kemajuan yang sangat luar biasa. Peghimpunan atau pengumpulan zakat dari Muzakki atau orang yang membayar zakat sudah tidak merasa terpaksa lagi. Akan tetapi, hal tersebut berbanding terbalik dengan zakat perusahaan sehingga perlu adanya perluasan atau pemahaman terkait pembayaran zakat institusional seperti perusahaan atau badan hukum.

BACA JUGA:  Kampanye Ramadan ALVA Gandeng Duitin & Boolet Suarakan Sustainable Habit in Ramadan

Zakat perusahaan merupakan salah satu isu zakat kontemporer yang sedang diangkat pada zaman ini. Ada beberapa pendapat dari beberapa peneliti serta dari tokoh ulama kontemporer yang mendukung praktik zakat perusahaan. Qardhawi menyajikan beberapa jenis zakat yang cukup berkaitan dengan praktik zakat perusahaan masa kini diantaranya zakat perdagangan, saham, investasi dan obligasi. Dikutip dari Hafidhudin dalam Muktamar Internasional tentang zakat di Kuwait 1404 H menyatakan bahwa zakat pada praktiknya berkaitan dengan perusahaan.

Berdasarkan dari prinsip-prinsip diatas, dapat dipahami bahwa modernisasi dalam bidang muamalah diizinkan oleh syariat Islam, selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat Islam. Pada umumnya, syariat Islam dalam bidang muamalah hanya mengatur dan menetapkan dasar-dasar hokum secara umum. Sedangkan perinciannya diserahkan kepada umat Islam, dimanapun mereka berada. Tentu saja, perincian tersebut tidak menyimpang apalagi bertentangan dengan prinsip dan jiwa syariat Islam. Dalam konteks inilah perusahaan ditempatkan sebagai Muzakki atau wajib zakat.

BACA JUGA:  Toko Kopi Tuku Satukan Tradisi Indonesia dengan Semangat Korea

Di Indonesia pengelolaan zakat diatur dalam UU No. 23 tahun 2011, UU Perpajakan No. 17 tahun 2000 yang membolehkan zakat pada badan usaha yang dimiliki umat Muslim sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak, serta Qanun No. 7 tahun 2004 (UU yang berlaku khusus di Provinsi Aceh) yang menetapkan bahwa zakat dikenakan atas harta perusahaan.

Standar akuntansi mengacu pada pedoman akuntansi yang dikembangkan untuk menangani masalah akuntansi dan pelaporannya. Standar akuntansi yang cukup relevan dengan zakat perusahaan yang ada di Indonesia antara lain adalah lampiran dari Surat Edaran BI No. 7/56/DPbS tahun 2005, PSAK 101, serta PSAK 109. Tetapi, PSAK 109 hanya di khususkan untuk organisasi pengelola zakat saja. Sedangkan di Malaysia dikeluarkan Technical Release i-1 (TR i-1) oleh MASB yang mengatur perlakuan akuntansi zakat perusahaan apapun usahanya. Selain itu ada juga AAOIFI organisasi internasional yang mengeluarkan standar akuntansi untuk zakat perusahaan yang perumusan dan penerapannya dikhususkan untuk lembaga keuangan syariah (LKS).

BACA JUGA:  Tumbuhkan Scale Up Usaha, BMM Gelar Pelatihan Digital Marketing Untuk UMKM Binaan

Zakat perusahaan dianalogikan oleh para ulama kontemporer kepada zakat perdagangan, karena dipandang dari aspek legal dan ekonomi, kegiatan sebuah perusahaan intinya berpijak pada kegiatan trading atau perdagangan (Nurhayati dan Wasilah, 2009). Riyanti (2008) telah menyebutkan beberapa metode perhitungan zakat perusahaan. Diantaranya: metode perhitungan zakat perusahaan menurut Al-Qardhawi yaitu dengan tarif 2,5%. Menurut MASB TR i-1 merumuskan bahwa . Serta AAOIFI merumuskan untuk zakat perusahaan yaitu dengan tarif 2,5% untuk tahun hijriah sedangkan 2,5775% tahun masehi, dengan perhitungan . Sedangkan Qanun yang hanya berlaku di Aceh memperhitungkan dengan metode 2,5% dari harta perusahaan yang keuntungannya mencapai nisab dalam kurun waktu 1 tahun.

Dengan demikian, zakat perusahaan merupakan analogi dari zakat perdagangan. Maka untuk perhitungan, nishab, dan syarat-syarat lainnya juga mengacu pada zakat perdagangan.