Penerapan Akuntansi Zakat Berkelanjutan di Malaysia, Solusi?

Ilustrasi. (Istimewa)

Akuntansi Zakat Berkelanjutan adalah salah satu isu yang sedang ramai di perbincangkan di Malaysia. Bagaimana tidak, produktivitas zakat saat ini sangat besar potensi pangsa pasarnya. Oleh sebab itu, praktik zakat dirasa perlu untuk terus diperbaiki kembali tata pengelolaannya baik dari segi pengumpulan dan siapa saja objek yang dikenai zakat.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Zahri Hamat (2014) mengupas tuntas bagaimana praktik akuntansi yang dilakukan untuk zakat berkelanjutan ini. Penelitian tersebut membagi pembahasannya ke dalam tiga bagian sub pembahasan. Pertama, bagian yang mengidentifikasi dasar-dasar akuntansi zakat sebelum masuk ke era akuntansi zakat berkelanjutan yang dilakukan oleh Khulafa Al-Rasyidin. Kedua, menganalisis perluasan aset yang dibutuhkan untuk zakat wajib, dengan menghitung penilaian zakat berdasarkan aset bersih dan metode penentuan tingkat penilaian zakat. Dan bagian ketiga, menganalisa pendapat ulama zakat di Malaysia pada akuntansi zakat berkelanjutan di Malaysia, khususnya akuntansi zakat untuk pendapatan dan bisnis.

Akuntansi Zakat Berkelanjutan dan praktek dari Khulafa Al- Rasyidin

Sebenarnya yang mendasari praktik akuntansi zakat berkelanjutan adalah Al-quran dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Hal ini dibuktikan dalam ayat Al-quran yang menyebutkan bahwa kata aset adalah wajib dikenai zakat. Pemahaman perintah berzakat terbagi menjadi dua bentuk yaitu bentuk umum dan khusus. Bentuk umum, Al-quran hanya menyebutkan satu bagian dari aset (kekayaan) yaitu dalam Qs. At-taubah : 103 atau aset (properti) dalam Qs. Ad-dhariyat : 19. Sedangkan secara khusus, al-quran menyebutkan tentang emas dan perak (al-Taubah, 9: 34), pertanian (al-An’am, 6: 141), bisnis dan sumber daya mineral (al Baqarah, 2 : 267).

Menurut Mahmood Zuhdi Abdul Majid (2003) dalam penelitian Zahri Hamat (2014), meski Al-Quran menyebutkan secara khusus beberapa jenis aset dimana zakat wajib dikenakan pada mereka tetapi tidak ada indikasi yang membatasi pengertian umum yang ditemukan pada ayat 103 dari surat At-taubah dan ayat 19 dari surat Ad-dhariyat. Sehingga menurutnya, tiga ayat ini menggambarkan jenis tertentu saja aset yang harus dikenai zakat wajib namun tidak berarti bahwa jenis lain dari aset zakat tidak wajib.

BACA JUGA:  Rupiah Hari Ini Jadi Mata Uang Terburuk di Asia

Selanjutnya akuntansi zakat berkelanjutan juga telah dibahas pada tulisan-tulisan klasik. Diantaranya, Abu Ubayd (1991). Yang menyusun hadist mengenai jenis aset yang dikenai zakat wajib dan membuat review untuk kemudian berpendapat atas masalah yang berkaitan dengan pengenaan zakat pada aset atau kekayaan tersebut. Sedangkan pada tulisan-tulisan kontemporer diantaranya, Muhammad Kamal ‘Atiyah (1995). Beliau menyimpulkan bahwa aset yang dikenai wajib zakat dibagi kedalam dua kategori yaitu aset tetap dan aset lancar.

Pada masa Khulafa Al-Rasyidin sendiri, dibuktikan pada pemerintahan Umar al-khattab yang menerapkan zakat pada kuda, pertanian, zakat madu sebesar 5-10 persen berdasarkan energi yang digunakan untuk pengolahan madu tersebut. Ataupun pada pemerintahan Ali bin Abi Thalib, misalnya yang memperkenalkan tingkat zakat untuk lima unta, yang boleh diganti dengan yang lebih muda asalkan kompensasi dibayarkan kepada pemilik dengan dua domba dan sepuluh dirham.

Akuntansi Zakat Berkelanjutan dan Praktik Lembaga Zakat di Malaysia

Ditingkat federal, akuntansi zakat berkelanjutan langsung melibatkan Departemen Pembangunan Islam Malaysia (JAKIM). Pada tahun 2001, JAKIM menerbitkan buku panduan yang didalamnya membahas tentang zakat yang berlaku untuk aset tertentu (emas dan perak), zakat pada aset dan penghasilan yang diperoleh dari aset (hewan dan bisnis) serta zakat pada pengahasilan yang hanya diperoleh dari aset (pertanian dan rikaz) serta pendapatan diri.

Untuk lembaga zakat di Malaysia, akuntansi zakat berkelanjutan setidaknya dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, memperluas aset, kekayaan atau properti yang dikenai wajib zakat. Yang menjadi komponen penting dalam pengadopsian akuntansi zakat berkelanjutan di Malaysia. Kedua, penilaian zakat didasarkan pada laba bersih atau aset bersih. Ini berarti bahwa zakat dikenakan setelah dikurangi kebutuhan biaya daruriyat subjek zakat. Ketiga, adalah keberlajutan akuntansi zakat adalah mengenai metode menafsirkan zakat wajib.

BACA JUGA:  Rupiah Hari Ini Jadi Mata Uang Terburuk di Asia

Dewan Agama Islam Sarawak (MAIS) membebankan zakat waiib pada gaji, tunggakan gaji, tunjangan dan pendapatan lain yang berkaitan dengan pendapatan setelah dikurangi kebutuhan dasar, pembiayaan kerja, hutang dan pembiayaan apa pun yang menyebabkan alasan sebenarnya seseorang mengambil pembiayaan ketika nisab (jumlah minimum) tercapai maka zakat adalah wajib dikenakan (Komite Fatwa Negara Serawak, 1996).

Selangor juga memberlakukan zakat wajib pada EPF (Employee Provident Fund) yang diberlakukan dalam dua metode. Pertama, zakat harus dikeluarkan pada hari kontribusi EPF diterima pada tingkat 2,5 persen. Kedua, zakat harus dikelaurkan ketika haul (kerangka waktu) satu tahun diterima pada tingkat 2,5 persen (Jawhar, 2008).

Lembaga zakat di Malaysia telah berlatih untuk menerapkan akuntansi zakat berkelanjutan dalam beberapa waktu. Akuntansi yang sudah dipraktikkan dengan dua metode yaitu pertama, zakat saat ini yang hanya berlaku untuk aset (negara bagian Kedah, Johor dan kelantan). Kedua, zakat dikenakan pada aset modal kerja (Kedah, Johor, Kelantan dan Perlis).

Akuntansi Zakat Berkelanjutan dan Pendapat Ulama Zakat di Malaysia

Perkembangan akuntansi zakat berkelanjutan akan terus meningkat seiring dengan kebutuhan yang ada saat ini. Kebutuhan terhadap perkembangan ini memaksa para ilmuwan di Malaysia meneliti tentang zakat dan keberlanjutannya. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Zahri Hamat (2014) terdapat tiga pertanyaan inti yang ditujukan kepada 12 orang responden dengan berbagai latar belakang profesi (ahli fikih, ekonom dan parktisi) untuk menjawab kebutuhan akan akuntansi zakat berkelanjutan ini. Pertama, apa argumen yang mendasari perkembangan akuntansi zakat berkelanjutan? Kedua, dasar apa yang digunakan untuk akuntansi zakat berkelanjutan? Dan ketiga, bagaimana metode yang digunakan untuk mengimplementasikan akuntansi zakat berkelanjutan ini?

BACA JUGA:  Rupiah Hari Ini Jadi Mata Uang Terburuk di Asia

Hasil penelitian menyebutkan untuk pertanyaan pertama, terdapat 10 ulama zakat atau setara dengan 83,3 persen setuju bahwa argumen yang mendasari perkembangan akuntansi zakat berkelanjutan adalah ijtihad. Mereka berpendapat bahawa perintah untuk berzakat sifatnya adalah qat’i (jelas,tegas dan tetap) sedangkan untuk perkembangannya bersifat ijtihadi. Untuk pertanyaan kedua, hasilnya sama yaitu terdapat 10 ulama zakat atau setara dengan 83,3 persen sepakat bahwa kata “aset” dalam QS. At-taubah :103 dan Al-baqarah : 267 merupakan bentuk umum yang menjadi dasar akuntansi zakat berkelanjutan di kembangkan pada zaman sekarang mengikuti kebutuhan saat ini. Sedangkan untuk pertanyaan ketiga, terdapat 8 ulama zakat atau setara dengan 66,7 persen setuju bahwa metode yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan akuntansi zakat berkelanjutan adalah qiyas yaitu mengambil kesamaan kejadiaan saat ini dengan kejadian di zaman para sahabat dengan berdasar Al-Quran dan As-sunnah.

Kesimpulannya, pengelolaan zakat di Malaysia akan terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu terutama akuntansi zakat berkelanjutan pada bidang pendapatan, pertanian dan bisnis. Karena Malaysia berpandangan modifikasi dan perubahan perlu dilakukan untuk terus mendukung roda perekonomian negaranya, ini juga merupakan solusi yang jitu untuk mengelola potensi zakat yang ada. Hal ini mungkin sekali untuk di contoh oleh Indonesia, mengingat zakat adalah salah satu aspek yang cukup berkembang di Indonesia belum lagi dudukung oleh mayoritas penduduknya adalah muslim. Hal terpenting adalah memaksimalkan potensi zakat yang ada pada pengelolaan yang baik dan memberi manfaat secara luas. Sehingga masyarakat menjadi lebih peduli untuk berpartisipasi dalam mendorong perekonomian negara secara nasional. (Angga Savitri)