
Riba adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang di bebankan kepada peminjam. Riba secara Bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara istilah riba berarti tumbuh dan berkembang. Islam adalah agama yang memperhatikan dalam hal yang baik untuk ummatnya sehingga sangat di perhatikan setiap asal usul apa yang di dapatkan ummatnya. Salah satunya dalam melakukan transaksi, jangan sampai transaksi yang di lakukan mengandung unsur riba. Karna dalam islam riba sangat di larang atau tidak di bolehkan.
“Dan di sebabkan karena mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah di larang dari padanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami menyediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang amat pedih.” (Qs. An-nisa: 161)
Dalam kehidupan sehari-hari yang kita lakukan tanpa di sadari kita pernah melakukan transaksi yang mengandung unsur riba, tak lepas dari kegiatan yang sudah menjadi kebiasaan. Kegiatan transaksi yang kita lakukan menjadi hal lumrah atau biasa. sehingga kita mengabaikan tentang kehalalannya. Sebagi ummat muslim yang baik, kita wajib mencari tau tentang unsur riba dalam transaksi dan berusaha untuk mencegahnya. Lalu apa saja transaksi yang mengandung unsur riba dalam kehidupan kita ?
- Riba dalam utang piutang
Transaksi ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalan waktu. Riba qardh di sebut juga riba jahiliyah yaitu utang yang di bayar melebihi dari pokok pinjaman. Misal : si A meminjam uang 1.000.000 kepada si B, dengan kesepakatan di B wajib membayar kepada si A 1.500.000 maka uang yang 500.000 itu merupakan uang riba atau di sebut qardh.
Riba qardh (riba jahiliyah/riba nasiah) itu di haramkan menurut Al-qur’an dan ijma ulama. Oleh karena itu, seluruh ulama tanpa kecuali telah sepakat bahwa riba qardh itu di haramkan dalam islam. Ada pun dalil tentang pelarangan riba qardh.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah SWT. Supaya kamu mendapatkan keberuntungan.” (Qs Ali Imran (3) : 130)
- Jual beli ‘inah
Ada beberapa definisi mengenai jual beli ‘inah yang disampaikan oleh para ulama. Definisi yang paling masyhur adalah seseorang menjual barang secara tidak tunai kepada seorang pembeli, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai dengan harga lebih murah. Misalnya : pemilik tanah ingin dipinjami uang oleh si miskin. Karena saat itu ia belum punya uang tunai, si empunya tanah katakan pada si miskin, “Saya jual tanah ini kepadamu secara kredit sebesar 200 juta dengan pelunasan sampai dua tahun ke depan”. Sebulan setelah itu, si empunya tanah katakan pada si miskin, “Saat ini saya membeli tanah itu lagi dengan harga 170 juta secara tunai.” Artinya di sini, si pemilik tanah sebenarnya melakukan manipulasi. Ia ingin meminjamkan uang 170 juta dengan pengembalian lebih menjadi 200 juta. Tanah hanya sebagai perantara. Namun keuntungan dari utang di atas, itulah yang ingin dicari. Inilah yang disebut transaksi ‘inah. Ini termasuk di antara trik riba. Karena “setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, itu adalah riba.”
- Jual beli kredit lewat pihak ketiga (leasing)
Jual beli secara kredit asalnya boleh selama tidak melakukan hal yang terlarang. Namun perlu diperhatikan bahwa kebolehan jual beli kredit harus melihat beberapa kriteria. Jika tidak diperhatikan, seseorang bisa terjatuh dalam jurang riba.
Pertama, yang dikreditkan sudah menjadi milik penjual (bank).
Kedua, barang tersebut bukan menjadi milik si penjual (bank), namun menjadi milik pihak ketiga. Si pembeli meminta bank untuk membelikan barang tersebut. Lalu si pembeli melakukan kesepakatan dengan pihak bank bahwa ia akan membeli barang tersebut dari bank. Namun dengan syarat, kepemilikan barang sudah berada pada bank, bukan lagi pada pihak ketiga. Sehingga yang menjamin kerusakan dan lainnya adalah bank, bukan lagi pihak ketiga. Pada saat ini, si pembeli boleh melakukan membeli barang tersebut dari bank dengan kesepakatan harga. Namun sekali lagi, jual beli bentuk ini harus memenuhi dua syarat: harganya jelas di antara kedua pihak, walau ada tambahan dari harga beli bank dari pihak ketiga, tidak ada denda jika ada keterlambatan angsuran. Jika salah satu dari dua syarat di atas tidak bisa dipenuhi, maka akan terjerumus pada pelanggaran. Pertama, boleh jadi membeli sesuatu yang belum diserahterimakan secara sempurna, artinya belum menjadi milik bank, namun sudah dijual pada pembeli. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525)
Atau bisa jadi terjerumus dalam riba karena bentuknya sama dengan mengutangkan mobil pada pembeli, lalu mengeruk keuntungan dari utang. Padahal para ulama berijma’ (bersepakat) akan haramnnya keuntungan bersyarat yang diambil dari utang piutang.