Sosok Ibu Dimata Anaknya

Ilustrasi. (Istimewa)

“Sebab tauladan yang baik, wanita yang sempurna, dialah ibu”.

Bagi seorang anak perempuan, ibu adalah sosok wanita yang menjadi anutan. Ibulah wanita yang paling ramah, pemberani, dan penyabar. Sejak anaknya masih dalam kandungan, dengan ramahnya Ibu bicara dengan si calon bayi meski ia tahu bahwa kandungan dalam janinnya tidak akan menjawab, juga dengan beraninya ia bertaruh nyawa melahirkan anaknya. Hingga kini anaknya telah dewasa, dengan kesabarannya ia tetap menuntun dan mengajarkan mana yang benar dan yang salah, serta bagaimana cara menjalani hidup agar menjadi wanita yang tangguh.

Ibu adalah malaikat Tuhan yang turun ke bumi, meski ia tak memiliki sayap, tapi ia dikaruniai hati yang begitu mulia. Pengorbanan dan kasih sayangnya yang sama besar dari ia muda sampai menua, seperti saat keluarga mengalami krisis ekonomi, tak jarang Ibu berbohong kepada anaknya, ia rela memberikan porsi makannya untuk anaknya dan berkata “makan saja nak, ibu sudah kenyang”. Pengorbanan seperti itulah yang membuat kita percaya bahwa ia adalah sosok malaikat yang nyata.

Ibu merupakan perpustakaan pertama bagi anaknya. Ia adalah gudang informasi. Dengan sabar Ibu menjawab pertanyaan-pertanyaan kecil ketika anaknya tumbuh menjadi anak balita.

Ibu adalah seorang perawat, ia setia menemani dan merawat ketika anaknya jatuh sakit. Tangan seorang ibu terbuat dari kelembutan. Usapan tangannya yang halus mampu membuat anak-anaknya tidur nyenyak. Pula Ibu adalah sosok koki yang andal, masakannya selalu lezat meski ia tidak punya latar belakang sekolah memasak.

Teringat saat masih kecil, penulis tidur sambil memeluk Ibu. Kadang tangan ibu kekuningan karena kunyit dan bau bawang merah. Dari bajunya tercium bau sabun dan agak lembab karena baru selesai mencuci. Ibu memang tak selalu wangi, tapi dia selalu cantik dan sempurna.

Meski sedang lelah ataupun sakit, ibu akan terlihat baik-baik saja. Semua rela ia lakukan demi kebaikan anaknya meski anaknya tidak pernah menghitung berapa kerutan di wajahnya. Bibir ibu yang kian pudar warna merahnya, masih saja menyunggingkan senyuman manis untuk anaknya.

Kini anaknya telah tumbuh menjadi dewasa, fisik ibu pun telah menua, pertanyaan kecil telah berubah menjadi pernyataan besar. Ketika nasihat ibu tidak didengar lagi, perkataannya sering dilawan, hal itu tentu membuat hatinya sakit, tapi ia tetap menanggapinya dengan kesabaran. Meskipun di sudut matanya yang sayu tersimpan derita yang begitu mendalam, tetapi dalam doanya banyak terselip harapan untuk anaknya.

Maaf ibu, di saat semua orang berpikir anakmu telah dewasa, ia masih jadi bocah nakal pembuat ulah, masih menyuguhkanmu cerita duka. Terima kasih Ibu, atas segala hal yang kau berikan, hal yang tidak pernah dapat terbalaskan dengan apapun. Memberikan segenap hatimu, segenap hidupmu untuk melihat anakmu sukses dan menghapus keringat, serta air matamu menjadi senyuman. (Ellita Zahara Husna/PNJ)