Renungan: Kasih Sayang dan Didikan Sang Nenek

Ilustrasi. (Istimewa)

Tak ada rotan, akar pun jadi. Begitulah pepatah yang mengungkapkan pernyataan bila sesuatu yang diperlukan tapi tidak ada maka sesuatu yang ada saja yang jadi digunakan dan diperlukan. Bahkan, sesuatu yang ada ternyata lebih baik dibandingkan sesuatu yang diperlukan tapi tak ada. Seperti itulah posisi seseorang nenek di hidup cucunya jika ayah dan ibunya sudah tak bisa memantau dan memerhatikan anak-anaknya.

Kebanyakan anak di luar sana dengan mudah dan penuh bahagia menceritakan kasih sayang ayah dan ibunya karena mereka dengan mudah juga merasakan kasih sayang dari ayah dan ibunya. Akan tetapi, hidup seorang anak yang dekat dengan neneknya berbeda dengan anak-anak yang akrab dengan orang tuanya. Ia pasti lebih sukar menceritakan kasih sayang seorang ibu dan ayahnya.

Tanpa kehadiran kasih sayang dari seorang ayah dan ibu tidak menjadi masalah tapi hidup tanpa kehadiran seorang nenek ternyata kangen. Kangen akan kasih sayangnya yang lembut, perhatiannya yang menyentuh, dan didikannya yang mengingatkan. Ia yang selalu bersama-sama menemani, merawat bahkan membimbing perjalanan hidup ini hingga dewasa.

Perbedaan zaman memang membuat kami berbeda dan sulit untuk saling sependapat. Namun, dari perbedaan zaman juga memberikan pelajaran dan makna sebuah kehidupan agar hidup ini tidak menjadi sia-sia.

Pagi buta, hari masih gelap, seisi rumah masih terlelap dengan tidurnya masing-masing, tetapi ia sudah melakukan aktivitasnya. Setelah terbangun dari tidurnya dan melakukan doa pagi. Dengan terburu-buru dan panik ia langsung bergegas lari ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Bukan untuk mencari perhatian melainkan itulah bukti nyata kasih sayang yang ia nyatakan dan berikan.

BACA JUGA:  Profil Anak Betawi Gak Ketinggalan Zaman

Nenek jauh lebih hebat mengatur keuangan dibandingkan ibu. Misal, dengan uang lima belas ribu rupiah saja, ia bisa memasak masakan yang sangat enak dan super lezat walaupun hanya masakan sederhana. Tapi hanya makanan sederhana saja bukanlah masalah karena kalau memang tidak ada lagi, ya, apa adanya saja. Masih bisa makan saja pun sudah bersyukur itu motto hidup kami.

Ia seringkali mendidik dan mengajarkan cucunya segala hal. Mulai dari cara berbicara dengan orang lain, cara menghargai orang lain, menghargai dan mengatur uang, cara menjadi manusia yang mandiri dan dewasa. Hal itulah yang berulang kali ia bicarakan agar cucunya berbuah dan menjadi berkat bagi sesama, terutama agar harapannya tercapai dan menyenangkan hatinya.

Rutinitas pekerjaan dari pagi hingga larut malam membuat ayah sibuk dan tak ada waktu untuk anaknya. Begitu juga dengan ibu sewaktu masih produktif bekerja. Perbincangan yang dibicarakan di rumah hanyalah omongan kasar dan rasa kesal dan lelah mereka usai bekerja lalu dilampiaskan di rumah. Maka tak heran pertengkaran sering kali terjadi di rumah.

BACA JUGA:  Lenong Betawi: Tradisi Refleksi Identitas Komunitas Masyarakat Betawi

Ayah dan ibu memang menyediakan segala kemudahan dan kenyamanan. Segala hal mereka sediakan, mulai dari uang jajan hingga siaran tv kabel. Lalu, mereka memberi handphone agar kami tetap berkomunikasi.
Tetapi, hal itu sama sekali tidak ampuh untuk memiliki hubungan yang erat dan merasakan kasih sayang dari ayah dan ibu. Karena, memiliki hubungan yang erat bukanlah hanya kuantitas tapi kualitas yang menentukan. Seperti halnya pergi dengan nenek ke pasar bersama, masak bersama, makan bersama, menonton tv bersama, bahkan tidur pun tak bisa terpisahkan. Dengan begitu, posisi ayah dan ibu hanyalah sibuk dengan pekerjaannya sehingga mereka melupakan kewajibannya sebagai orang tua.

Ayah dan ibu selalu beranggapan uang bisa memberikan segala hal. Mereka memberikan uang dengan nominal yang besar tapi tetap kasih sayang dari mereka tak tampak. Nenek pun pernah memberi uang, tapi dengan nominal yang tidak sebanyak yang ibu berikan namun ia memberikan alasannya, ia mengatakan “ Ini uang nenek satu-satunya, sisa uang belanja kemarin, pakailah, nenek tahu hari ini kamu tidak diberi uang sama ibumu. Pakailah, untuk jajan di sekolah “ mendengar perkataan seperti itu, air mata menetes di pipi dengan senyum bangga. Di saat itulah kumulai mengerti bahwa uang begitu berharga. Uang bukan hanya sekadar didapat lalu dengan bebas menggunakannya, tapi harus perlu bijaksana menggunakannya lalu disimpan suatu saat akan ada waktu di mana kita akan membutuhkannya.

BACA JUGA:  Problematika Bahasa Indonesia : Pengaruh Bahasa Gaul pada Remaja

Rumah sudah berbeda. Ruang, jarak, dan waktu pun sudah jauh dan berbeda, tapi perbedaan ruang, jarak, waktu tidak menjadi penghalang bagi ia agar tetap berkomunikasi dengan cucunya. Bukan dengan handphone seperti ayah dan ibu lakukan, tetapi berkunjung, berjumpa dan bertatap muka. Terkejut, kaget dan tak menyangka itulah reaksiku melihat nenek ada di depan mataku.

Rasa rindu denganku telah menguasai dan mengalahkan rasa cemas dan rasa takutnya untuk melalui perjalanan agar berjumpa denganku. Aku memang tidak seperti anak yang lain yang mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya masing-masing, akan tetapi dari diri seorang nenek, aku mendapatkan kasih sayang yang sesungguhnya, didikan yang luar biasa berguna bagi hidup dan masa depanku.

Saat ini, aku bagaikan burung yang sudah dewasa, dapat terbang sendiri, dan berada di luar kandangnya. Terima kasih Nek, tanpamu aku tidak berarti. Aku percaya, namaku kan selalu ada di setiap doamu, begitu juga namamu kan selalu ada di dalam doaku. Aku mencintaimu, dari cucumu yang selalu mengingatmu pagi, siang, dan malam. (Yolanda Bonnita/PNJ)