
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)
Dari hadits tersebut seharusnya sudah dapat dimengerti bahwa pada realitasnya Ibulah yang berhak mendapatkan kecintaan tiga kali lipat lebih besar daripada Ayah. Bukan ada maksud lain, Karena kesulitan dalam menghadapi masa hamil, kesulitan ketika melahirkan, dan kesulitan pada saat menyusui dan merawat anak, hanya dialami oleh seorang ibu. Ketiga bentuk kesulitan yang sekaligus kehormatan itu hanya dimiliki oleh seorang ibu, hanya Ibu.
Mulutnya mampu mengeluarkan tawa keras dengan guratan yang disertai peluh kelelahan diwajahnya, bibirnya tersenyum tapi matanya pilu, suaranya yang parau dan keriput dekat pelipisnya sudah cukup mengatakan bahwa ia menderita. Tapi yang ia tahu, anaknya bahagia, ia pasti bahagia. Anaknya hidupnya dan selalu, anaknya bahagianya.
Tidak dapat dimungkiri, Ibu memang sosok yang begitu hebat dibalik kerapuhannya, keistimewaan yang diberikan Allah kepadanya tidak terjangkau oleh makhluk lainnya di dalam keluarga. Secara tidak sadar ialah tonggak utama dalam keluarga yang menjadi alasan keluarga dapat bertahan hingga akhir maut memisahkan. Bisa diungkapkan bahwa ialah satu dalam semua. Menurutku, Ia sanggup untuk mengganti peran ayah, kayak, adik, sahabat, dan teman dalam aspek apapun dan di hari apapun.Pernahkah sebagai anak kita sadari? Semenjak ia telah menyetujui kontrak hidup-mati dan dunia-akhirat dengan Allah, 24jam dalam seumur hidupnya ia dedikasikan untuk hidup anaknya.
Aku, aku merasakan semua itu. Aku melihat semua itu dari hidupnya. Tidak diperbolehkan ada kata sakit atau istirahat dalam kesehariannya, atau hanya sekadar berkata “Ibu lelah, Nak..” Berat bukan? Beban yang ditanggung seumur hidupnya? Tidak hanya itu, disaat Ayah tidak mampu, Ibu yang menjadi tameng bagi kehidupan keluarga terkhusus anak-anaknya. Tak jarang kita lihat disekitar, begitu banyak para Ibu yang menjadi pengasuh dan pendidik bagi anak-anaknya sekaligus mencari makan untuk keluarganya. Aku, lagi-lagi aku merasakan semua itu. Apalah daya.. tulang rusuk telah berubah menjadi tulang punggung, Oh Ibu….
Walau kehebatannya tak akan pernah tergerus waktu, kekuatannya tak lekang oleh zaman dan perjuangannya tak. akan habis dihapus masa, itu semua tidak akan berlaku untuk jaminan usianya. Ibu sudah menua. Raganya tidak bisa berdusta, dalam masa ini perjuangan Ibu untuk mencarikanku makan telah sampai di ujung lelahnya. Memang usianya belum begitu tua, tetapi perjuangan yang telah dilewatinya jauh 3 kali lipat dari beban yang harus ditanggung Ibu lainnya. Itu ibuku, Ibuku. Pernah suatu hari kubertanya padanya, “Ibu letih, Bu?” Dengan suaranya yang keras namun ketir saat didengar “Sakit, Nak…”. Ya! Dengan tepat terasa ada sebuah duri yang menancap di relungku, Ibu bukan sekadar kelelahan, tapi ibu juga kesakitan
Detik tak dapat dihentikan, waktuku dengan Ibu semakin hari kian sempit, Begitu juga denganmu, Kawan. Waktumu dan Ibumu kian terbatas. Bahagiakan selagi mampu dan gapai ia dengan tanganmu selagi sanggup. Panggil Ibu dengan suara yang penuh kasih sayang, tanya kabarnya dengan penuh perhatian. Begitulah Ibu, jasanya yang luar biasa besar tak harap imbalan, hanya dengan secuil perhatian dari sang anak akan berhasil membuatnya tenang dan merasa dicintai sepanjang hayatnya. Itu saja.
Terimakasih banyak atas segala jasamu, Ibu. Tidak tahu harus berbuat apa dan aku memang sadar bahwa apapun yang kulakukan tidak akan dapat membalas segala perjuangan dan cinta yang telah kau curahkan. Tidak akan ada kata cukup untuk mencintaimu. Maafkan aku, tidak selalu ada disaat dirimu butuh dan selalu mencarimu disaat ku butuh. Beribu maaf kuhaturkan dan doa penuh cinta kupanjatkan, Semoga Allah mempersiapkan satu ruangan terindahNya untukmu kelak di Syurga. Aamiin… (Shintya Maharani/PNJ)