Zakat sebagai Langkah Solutif Mengentaskan Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial di Indonesia

Ilustrasi. (Istimewa)

Oleh : Darihan Mubarak (Ketua Umum KSEI Islamic Economics Forum STEI SEBI SEBI | Musyrif Tahfizh Indonesia Qur’an Foundation)

Zakat adalah salah satu pilar penting dalam ajaran Islam. Secara etimologis, zakat memiliki arti kata berkembang (an-namaa), mensucikan (at-thaharatu) dan berkah (albarakatu). Sedangkan secara terminologis, adalah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya.

Sementara itu, al-Qardhawi (2002) mengatakan bahwa tujuan mendasar ibadah zakat itu adalah untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan sosial seperti pengangguran, kemiskinan, dan lain-lain. Sistem distribusi zakat merupakan solusi terhadap persoalan-persoalan tersebut dengan memberikan bantuan kepada orang miskin tanpa memandang ras, warna kulit, etnis, dan atribut-atribut keduniawian lainnya. Oleh karena itu, zakat dapat memainkan peran yang sangat signifikan dalam meredistribusikan pendapatan dan kekayaan dalam masyarakat muslim. Dalam studinya, Pramanik menyatakan bahwa dalam konteks makro ekonomi, zakat dapat dijadikan sebagai instrumen yang dapat memberikan insentif untuk meningkatkan produksi, investasi, dan untuk bekerja.

Sejumlah studi untuk melihat secara empiris dampak zakat terhadap kemiskinan dan pengangguran telah dilakukan, meskipun masih sangat jarang. Jehle (1994) mencoba menganalisa dampak zakat terhadap kesenjangan dan ketimpangan yang terjadi di Pakistan. Dengan menggunakan Indeks Kesenjangan AKS (Atkinson, Kolm dan Sen), Jehle mampu mengkonstruksi dua jenis pendapatan dengan menggunakan data tahun 1987-1988, yaitu : data pendapatan tanpa mengikutsertakan zakat dan data pendapatan yang mengikutsertakan zakat. Ia menemukan bahwa zakat mampu mengalirkan pendapatan dari kelompok menengah kepada kelompok bawah.

Indonesia sebagai penduduk dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia memiliki potensi dalam hal penghimpunan dan penyaluran zakat. Namun apa yang terjadi ? Kemiskinan dan kesenjangan sosial merupakan salah satu masalah rumit yang dihadapi Indonesia. Jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan sebesar 0,86 juta orang, yakni 27,73 juta orang pada bulan September 2014 menjadi 28,59 juta orang pada bulan Maret 2015 (BPS, 2015). Selain itu, tingkat kemiskinan di pedesaan lebih tinggi dari pada perkotaan memperlihatkan ketimpangan pendapatan. Penduduk miskin di pedesaan meningkat dari 13,76 % pada September 2014 menjadi 14,21 % pada Maret 2015. Sedangkan peningkatan di perkotaan pada September 2014 sebesar 8,16 %, meningkat menjadi 8,29 % pada Maret 2015.

BACA JUGA:  Membangun Keuangan yang Kuat: 5 Langkah Mudah Menuju Kebebasan Finansial

Berdasarkan data dari Bank Dunia, Koefisien Gini Indonesia terus meningkat dari 30 poin pada tahun 2000 menjadi 41 pada tahun 2014, yang merupakan rekor tertinggi. Bahkan, tingkat ketimpangan Indonesia melaju paling cepat di antara negara-negara tetangganya di Asia Timur. Padahal, beberapa negara jiran, seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand mencatatkan penurunan angka Koefisien Gini.

Badan Pusat Statistik melaporkan jumlah penduduk miskin periode maret 2015 sebanyak 28,59 juta jiwa baik di perkotaan maupun di desa. Jika dibanding periode September 2014 angka penduduk miskin bertambah 27,73juta orang.

Dampak dari kemiskinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak dan kompleks. Dengan banyaknya pengangguran berarti banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat.Sehingga, akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat pendapatan, nutrisi, dan tingkat pengeluaran rata-rata yang berujung pada meningkatnya kasus kriminalitas.

Melebarnya ketimpangan kesejahteraan tecermin juga dari terpusatnya akumulasi kekayaan pada minoritas penduduk Indonesia. Mengacu data Credit Suisse, Bank Dunia mencatat kelompok 10 persen orang kaya menguasai sekitar 77 persen dari seluruh kekayaan aset dan keuangan di negara ini. Kalau dipersempit lagi, 1 persen orang terkaya di Indonesia menghimpun separuh total aset negara ini.

BACA JUGA:  Hati-Hati Bangun Tangga di Rumah, Ini Pedomannya!

Rasio tersebut setara dengan Thailand, yang menempati posisi kedua dari 38 negara yang didata Credit Suisse. Peringkat pertama adalah Rusia, dimana 1 persen orang terkayanya menguasai 66,2 persen dari total aset negara tersebut.

Berdasarkan survei Bank Dunia, 47 persen responden menganggap isu ketimpangan kesejahteraan ini sangat penting untuk ditangani pemerintah dan 41 persen menganggap cukup penting. “Berdasarkan survei nasional, ketika diminta memilih antara mendorong pertumbuhan ekonomi atau ketimpangan, lebih 50 persen memilih mengurangi ketimpangan.

Melebarnya jurang ketimpangan kesejahteraan juga dapat menimbulkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan risiko konflik sosial. Berdasarkan riset, saat total pendapatan kelompok 20 persen orang kaya naik 5 persen, pertumbuhan ekonomi malah melambat 0,4 persen. Sebaliknya, ketika pendapatan kelompok 20 persen orang miskin naik 5 persen maka ekonomi tumbuh 1,9 persen.

Dalam menghadapi masalah ini, Islam mempunyai langkah solutif untuk mengentaskannya yakni dengan menggunakan instrument zakat. Karena setiap ada hal hal yang bersifal larangan dalam Islam seperti kemiskinan dan terpusatnya harta hanya pada kalangan orang-orang kaya (baca: kesenjangan social) maka selalu diiringi dengan solusi.

Zakat selain memiliki dimensi religius, ia juga memiliki dimensi social ekonomi. Dimensi religius karena zakat merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah s.w.t kepada ummat Islam supaya mereka mendapat ridha Allah dan sebagai upaya untuk membersihkan dan mensucikan harta. Dimensi social ekonomi karena zakat merupakan upaya untuk membantu sesama (delapan asnaf) supaya terjadi kesejahteraan secara merata (Al-hasyr :7).

BACA JUGA:  Membangun Keuangan yang Kuat: 5 Langkah Mudah Menuju Kebebasan Finansial

Menurut data yang dihimpun dari BAZNAS, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan BANK Pembangunan Islam (IDB), potensi zakat nasional untuk tahun 2013 saja sebesar Rp 217 Triliun. Zakat tersebut terdiri zakat maal, zakat perusahaan, zakat atau tabungan deposito perbankan syariah. Namun pada tahun 2013 jumlah zakat yang terhimpun hanya 27,3 Triliun saja, sedangkan pada tahun 2014 hanya 3,2 Triliun. Jika dihitung dengan metode esktrapolasi, potensi zakat tahun 2015 sebesar Rp. 280 triliun .

Akhirnya dapat dikatakan bahwa potensi yang ada belum dimanfaatkan secara optimal oleh seluruh pihak yang terkait. Padahal jika dihitung potensi zakat sebesar 280 triliun pada tahun 2015 dibagi dengan jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun 2015 sebesar 28,59 juta maka akan diperoleh hasil sekitar 9,5 juta. Ini dengan asumsi zakat untuk hal-hal yang bersifat konsumtif. Dan akan berdampak positif lebih besar lagi jika potensi yang ada (jika terealisasi) digunakan untuk hal hal yang bersifat produktif. Lambat laun delapan asnaf yang disebut dalam Al-quran bisa menjadi sejahtera dan akhirnya tidak menjadi mustahik lagi. Karena pada hakikatnya tujuan zakat adalah untuk membuat mustahik menjadi muzakki.

Oleh karena itu, untuk menghilangkan kesenjangan antara potensi dan realisasi maka perlu dilakukan sosialisasi masif terkait urgensi mengeluarkan zakat dalam ajaran Islam bagi para pihak yang tergolong muzakki. Selain itu juga, perlu dilakukan penguatan regulasi dan kerjasama dengan pihak pihak terkait.