Petani Butuh Pembiayaan Syariah

Ilustrasi. (Istimewa)

Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki bentang lahan pertanian dan perkebunan seluas 45 Juta Hektar yang ditanami oleh berbagai macam tumbuhan bahan pangan, rempah-rempah dan lain sebagainya (BPN,2016). Tak heran memang jika Indonesia disebut sebagai negara yang kaya akan sumberdaya alamnya, karena selain memiliki potensi dipertanian juga memiliki sumber daya alam laut, minyak bumi, hasil hutan dan perkebunan.

Sektor pertanian memiliki peran yang sangat penting dalam negeri ini,penyerap tenaga kerja, penyumbang terhap PDB, penambah devisa negara (ekspor), penyedia bahan industry, penyedia bahan pangan dan gizi, dan peranan penting lainnya. Dalam persoalan penyerapan tenaga kerja, sector pertanian, perkebunan dan kehutanan paling besar menyerap tenaga kerja di Indonesia yaitu 37.770.165 jiwa pada 2016 (BPS,2016), dari tahun 1990 sampai 2016 sektor ini selalu yang paling tinggi dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. Data tersebut menunjukan sebetulnya pada sector inilah orang-orang banyak terserap. Walaupun sector pertanian paling banyak menyerap tenaga kerja paling besar, namun masyarakat yang berprofesi sebagai petani masih banyak yang hidupnya dibawah garis kemiskinan. Beberapa penyebab para petani masih berada dalam hidup kemiskinan di adalah murahnya harga jual hasil tani sehingga para petani mengambil keuntungan yang sangat sedikit namun resiko yang harus ditanggung sangatlah besar apabila terjadi kegagalan panen.

BACA JUGA:  Lalamove Gandeng Baznas di Program CSR DeliverCare

Selain itu, pinjaman untuk pengembangan budidaya tani juga sebagai factor mengapa petani masih berkehidupan kurang mampu. Karena dengan tidak adanya pinjaman untuk membantu perkembangan budidaya tani maka para petani hanya melaksanakan kegiatan budidaya tani semampu modal yang mereka punya. Hal tersebut bisa berdampak pada produktifitas budidaya tani, dari mulai bibit yang didapat sedikit, pemupukan yang tidak maksimal, tenaga kerja yang minim, hingga proses panen yang tidak terlaksana dengan baik. Semua itu bisa terjadi hanya karena kurangnya pinjaman modal untuk budidaya tani tersebut.

Pembiayaan pada sector pertanian sangatlah sedikit, menurut Bank Indonesia (BI) 2007 penyaluran kredit Perbankan Nasional terhadap sector pertanian menempati posisi ke empat setelah sector jasa, perindustrian, dan perdagangan dengan presentase 5,4 % dari total seluruh penyaluran kredit perbankan Nasional. Hal tersebut dikarenakan para lembaga keuanganan dalam hal ini perbankan menganggap bahwa sector pertanian memiliki resiko tinggi, ketidakmampuan petani menyediakan agunan, kegiatan usaha yang tidak pasti, tidak berdaya saing , dan terbatasnya jumlah dan jangkauan operasi perbankan karena petani tinggal di pedesaan.

Pola pinjaman yang diberikan perbankan konvensional dinilai tidak pro terhadap sector pertanian, mengapa? Karena pada perbankan konvensional menggunakan system pengembalian pinjaman (modal) dan bunga yang menjadi titik tekannya dalam pemberian pinjaman yang mana setiap bulan harus dibayarkan oleh peminjam. Tentu inuihuo97i bertolak belakang dangan perputaran uang yang ada padapetani dalam budidaya pertanian, karena para petani hanya memiliki uang yang jumlahnya tidak banyak untuk kebutuhan hidupnya sebelum masa panen tiba. Gap ini lah yang terjadi jika para petani meminjam uang kepada perbankan konvensional, kemampuan membayar cicilan + bunga sangat kecil dikarenakan uangnya digunakan untuk budidaya taninya.

BACA JUGA:  OYO Sediakan Modal Investasi bagi Mitra untuk Standarisasi Properti di Indonesia

Dalam permasalahan inilah peran perbankan syariah sangat diharapkan kontribusinya pada sector pertanian. Perbankan syariah lebih pas dibanding perbankan konvensional pada sector pertanian, dikarenakan perbankan syariah menggunakan prinsip jual beli dan bagi hasil yang mana selama ini para petani telah terbiasa dengan system bagi hasil seperti maro, gaduhan dan lainnya. Pada system syariah, baik perbankan maupun petani harus sama-sama menaggung segala yang terjadi kedepannya baik untung maupun rugi (sharing risk). Banyak akad yang bisa digunakan perbankan syariah dalam sector pertanian, misalnya adalah akad Bai As-Salam dimana petani mendapat modal untuk berproduksi sesuai biaya yang dibutuhkan dan mendapatkan keuntungan dengan presentase tertentu. Yang dituntut adalah kemampuan petani untuk memproduksi hasil pertanian, petani menyerahkan produk pertanian dengan kriteria yang telah disepakati kepada pemberi modal.

Lembaga keuangan syariah juga dapat menerapkan skema akad Mudharabah untuk sector pertanian dimana lembaga keuangan syariah sebagai pemilik modal (shahibul maal) dan petani sebagai pengelola modal (mudharib). Tugas petani setelah mendapatkan modal dari lembaga keuangan syariah adalah menegelola kegiatan pertanian dengan baik yang nantinya keuntungan dari hasil pertanian dibagi antara petani dan lembaga keuangan syariah sesuai nisbah bagi hasil yang telah disepakati diawal. Dalam memenuhi perlengkapan pendukung budidaya tani bisa dengan menggunakan skema akad Bai’ Murabahah, dan banyak lagi skema syariah yang dapat diterapkan pada sector pertanian yang dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan oleh petani dan lembaga keuangan syariah.

BACA JUGA:  Kampanye Ramadan ALVA Gandeng Duitin & Boolet Suarakan Sustainable Habit in Ramadan

Dalam penjabaran permasalahan diatas pembentukan perbankan pertanian dengan menggunakan system syariah bisa jadi solusi bagi petani saat ini dalam mengoptimalkan kegiatan budidaya taninya. Selain itu juga pelatihan, pembimbingan bagi petani perlu dilakukan dalam meningkatkan ketelampilan kerja dan manajemen petani yang sangat lemah guna menghasilkan produk yang unggulan dan berdaya saing.

Solihin