
Oleh: Yekti Migunani
“Berikan aku sepuluh orang tua akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku sepuluh pemuda maka akan kugoncangkan dunia”
Kira-kira begitulah ungkapan Ir.Soekarno yang menggambarkan betapa berharga dan pentingnya seorang pemuda. Pemuda adalah masa dimana semangat perjuangan masih membara dalam dirinya, ditambah dengan keadaan fisik yang masih kuat untuk melakukan pergerakan dan perubahan. Pemuda adalah asset penting dari sebuah negara dimana negara yang hebat dibangun oleh semangat para pemudanya.
Mari berkaca dari sejarah, tahun 1453 M sebuah penaklukan kota besar Konstantinopel, kota yang pernah dijanjikan Rasulullah akan ditaklukan oleh sebaik-baik pemimpin dan prajurit. Kota yang memiliki benteng legendaris tak tertembus itu akhirnya runtuh di tangan Sultan Muhammad Al-Fatih, sultan ke-7 Turki Utsmani. Pada waktu itu, Sultan Muhammad Al-Fatih yang baru berusia 21 tahun dengan kecerdasannya mampu memimpin dan memobilisasi lebih dari 4 juta prajurit dan membuat strategi perang yang belum pernah terfikirkan oleh siapapun. Beliau dan pasukannya mampu menggandeng 70 kapalnya melintasi bukit.
Di dalam negeri pun sejarah mencatat bahwa pergerakan pemuda mampu membuat revolusi. Salah satu yang terkenal adalah tragedi 1998 saat penurunan rezim orde baru. Di tengah kekacauan ekonomi yang terjadi, pergerakan yang digalangi para pemuda di dalam hal ini mahasiswa mampu menurunkan semua kalangan masyarakat dari buruh hingga militer untuk bersama memberhentikanrezim yang berkuasa.
Dua sejarah diatas bukan tidak menjadi cambukan untuk para pemuda. Seorang Muhammad Al-Fatih yang termotivasi gelar sebaik-baik pemimpin oleh Rasulullah menjadikan tekadnya kuat untuk menaklukan konstantinopel. Dengan keimanan dan tekadnya mampu membawa Islam pada kejayaan masa itu. Kita lihat pula pergerakan mahasiswa tahun 1998, idealisme yang kuat membawa Indonesia ke arah sejahtera masih terpatri kuat di dalam dada.
Lalu apa kabar pemuda kita masa kini? Masih adakah semangat pergerakan didalam jiwanya? Bukan maksud untuk pesimis, tetapi mari kita lihat dan renungkan. Pemuda sekarang tidak terlalu berlebihan jika dikatakan kondisinya memperihatinkan. Anak muda kita ketimbang belajar, diskusi atau sibuk berkarya justru banyak menghabiskan waktu untuk hal yang tidak berguna. Mulai dari ber-alaydi sosial media, pacaran, pornografi, merokok, tawuran, narkoba, hingga ke tindak kriminal sudah menjadi hal yang biasa berseliweran di media harian kita.
Pemuda yang diharapkan menjadi pondasi untuk menyongsong peradaban baru justru menjadi penghancur wajah bagi bangsa. Pemuda harusnya menyadari betapa penting dan diperlukan dirinya sebagai tonggak peradaban. Dimana bersamanyalah terdapat tekad perubahan dan janji-janji kejayaan. Bersamanyalah akan muncul sebuah generasi baru, peradaban baru.
Apakah ini sepenuhnya salah pemuda kita? tidak juga. Sebuah generasi tidak akan terbentuk tanpa didikan dan peran dari generasi sebelumnya. Mari kita lihat apakah keluarga, lingkungan, sekolah bahkan pemerintah sudah berperan aktif untuk menjadikan pemuda kita seperti yang diharapkan. Baiklah, lagi-lagi jawabannya belum. Lalu apa yang diharapkan oleh pemuda masa kini jika keluarga, lingkungan, sekolah, bahkan pemerintah tidak bersinergi untuk mewujudkannya. Mulai dari kurangnya perhatian serta pengawasan di rumah, tayangan televisi yang tidak mendidik, pengekangan di sekolah atau bahkan kurangnya media aspirasi bagi pemuda, mereka menganggap suaranya tidak didengar oleh orang di sekitarnya.
Hanya ada dua cara menyelesaikan masalah ini, memperbaiki atau memutus. Memperbaiki para pemuda kita yang terlanjur ‘berpenyakit’ moral, atau memutus rantai tidak bermoral dengan menciptakan generasi baru yang lebih baik. Lagi-lagi keduanya tidak luput dari peran keluarga, lingkungan, sekolah dan pemerintah. Mari bersama bersinergi untuk menjadi bangsa yang besar. (Yekti Migunani/ Mahasiswi semester 3 STEI SEBI)