DEPOKPOS – Forum Jurnalis Muslim (Forjim) melalui siaran persnya menyatakan bahwa pertarungan abadi sejak dulu hingga sekarang adalah pertarungan informasi. Dengan informasi, siapapun bisa merangkul kawan sekaligus menjatuhkan lawan. Dalam pertarungan, informasi pun berfungsi sebagai senjata.
Ketika itu masyarakat quraisy jahiliyah menistakan Nabi Saw dengan sebutan majenun (gila), tukang sihir, dan berbagai stigma buruk lainnya. Melalui informasi yang negatif, mereka ingin mendeskreditkan Islam.
Mengutip ayat suci Al Qur’an, Allah mengingatkan: “Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayanya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS. At Taubah 32).
Tak dipungkiri, dengan informasi, negara-negara Islam dihancurkan. Sebagai contoh, kasus Irak. Amerika Serikat memberi informasi bohong perihal Irak memiliki senjata nuklir, padahal tidak. Bahkan “Perang Informasi” diabad ini bisa menggoyang rezim yang berkuasa. Itulah sebabnya, pertarungan yang abadi adalah pertarungan informasi.
Di era informasi, peran jurnalis muslim diharapkan meluruskan yang salah dan mengokohkan yang benar. Ketika menyampaikan berita, Jurnalis muslim sejatinya melakukan cek and ricek alias tabayun. Jika tidak, akan terjadi musibah yang besar. Di era sekarang ini, menelan informasi tanpa diteliti terlebih dahulu, akan berdampak besar, dan menimbulkan petaka dan bencana.
Tentu, aspek terpenting yang harus dimiliki jurnalis muslim adalah kejujuran. Dalam artian jujur dalam menyampaikan kabar atau berita. Selain itu, berita yang disampaikan tidak bersifat ghibah, namimah, yang ujungnya bisa menyebakan porak poranda.
Mengutip Ketua Umum IKADI, KH. Ahmad satori, dalam Islam tidak membenarkan semboyan pembawa berita “Bad News is a Good News”. Karena, tak ada gunanya mengumbar aib orang lain, yang menyebabkan dirinya tidak senang aibnya di buka di depan umum.
“Jurnalis muslim harus memberikan informasi yang membuat umat jauh dari kemaksiatan, dan mengajak orang lain untuk melakukan kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah. Jurnalis muslim yang memberikan pengaruh positif untuk masyarajat, mendapatkan pahala yang berlipat ganda.”
Saat ini senjata yang paling efektif adalah media. Media dalam Islam tidak sekedar memberitakan sesuai kenyataan, tapi juga yang mengandung kebaikan. Hal itu dikatakan Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Cholil Nafis kepada Forum Jurnalis Muslim (Forjim) di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Jakarta.
Berita meskipun benar, jika tidak membawa kebaikan, tidak boleh diberitakan. Benar dan nyata, tapi tidak berimplikasi pada kebaikan, juga tak perlu diberitakan. Inilah prinsip yang berbeda dalam pemberitaan.
Jurnalis muslim diharapkan menyajikan tulisan yang lebih cerdas dan inspiratif. Pesan pentingnya, kita butuh berjamaah, bukan hanya berjamaah dalam shalat, tapi juga dalam dakwah, tak terkecuali dalam berpolitik, ekonomi, bahkan jurnalis muslim pun perlu berjamaah. Sehingga berita yang disampaikan, bukan hanya fakta, tapi juga membawa maslahah (kebaikan).
Petaka Sosial Media
Forjim berpandangan, perkembangan media sosial belakangan ini disebut sebagai kecenderungan proses berkomunikasi dalam kategori anti komunikasi. Realitanya, kehadiran media sosial mengabaikan hal-hal yang fundamental dalam komunikasi, yaitu: penghormatan kepada orang lain, empati kepada lawan bicara, dan antisipasi atas dampak-dampak ujaran atau pernyataan.
Pada prinsipnya, praktik berkomunikasi di ruang publik mensyaratkan kemampuan pengendalian diri, kedewasaan dalam bersikap, serta tanggung jawab atas setiap ucapan yang hendak atau sedang disampaikan.
Begitu sering orang terlambat menyadari bahwa apa yang diungkapkannya di media sosial telah tersebar kemana-mana, menimbulkan kegaduhan publik, dan merugikan pihak tertentu. Media sosial menampilkan negativitasnya di sini.
Lebih memprihatinkan lagi, negativitas media sosial itu justru diamplifikasi dan diperkuat oleh media massa, khususnya media daring dan media televisi. Kekusutan komunikasi politik, kontroversi, dan debat kusir di media sosial dalam banyak kasus dilanjutkan di ruang pemberitaan atau bincang-bincang media (talkshow).
Pola penyajian informasi yang cenderung spontan, serba cepat, dan instan di media sosial tidak diimbangi sesuatu yang berbeda, tetapi justru dijadikan mode jurnalistik yang baru oleh media massa konvensional.
Akibatnya, saat ini cukup mudah menemukan berita politik yang tidak berimbang, mengabaikan verifikasi sumber kunci atau menggunakan judul yang menghakimi. Pada awalnya ini hanya menjadi tren di media jurnalistik daring, tapi pada perkembangannya juga mulai menggejala di semua jenis media.
Memang, konflik adalah oase yang tak pernah kering dalam pemberitaan. Konflik dan hal-hal kontroversi selalu memikat untuk diberitakan dan punya daya magnetik di hadapan masyarakat. Namun, perlu dipersoalkan motif media terhadap konflik atau kontroversi.
Apakah motif komodifikasi berdasarkan pertimbangan oplah, rating, hit, atau bahkan motif politik keberpihakan kepada suatu kelompok atau golongan?
Padahal tugas utama media adalah membantu masyarakat memahami persoalan, mengambil pelajaran berharga, dan mencari jalan penyelesaian. Kuatnya motif komodifikasi politik dapat membuat media tidak memedulikan penyelesaian konflik dan tanpa sadar justru mengintensifkan konflik.
Kode Etik Jurnalistik menegaskan, media harus memberitakan secara berimbang. Sampai di sini, terlihat jelas sesungguhnya kita sedang menghadapi krisis etika media atau etika berkomunikasi. Pada level media massa, wujudnya pengabaian Kode Etik Jurnalistik atau Etika Penyiaran hingga taraf banal dan masif.
Begitu serius pengabaian itu hingga sebagian awak media mungkin tidak lagi menganggap berita yang tidak berimbang atau menghakimi sebagai bentuk kesalahan.
Sungguhpun demikian, semua pihak pasti sepakat proses berkomunikasi pada level mana pun tak mungkin berjalan tanpa etika. Tanpa dilandasi etika, praktik bermedia akan mengarah pada kekacauan. Pada akhimya, masyarakat yang menanggung kerugian paling besar. Media yang semestinya membantu masyarakat memahami persoalan sosial politik secara jernih dan obyektif, justru jadi ajang persitegangan dan perseteruan tak berujung.
Literasi media jelas diperlukan. Kita perlu mengingatkan kepada para “praktisi” media, pentingnya kemampuan pengendalian diri, kepekaan terhadap dampak-dampak komunikasi, serta kedewasaan dalam menghadapi perbedaan pendapat di ruang publik.
Proses berkomunikasi, sekali lagi, menuntut kemauan semua yang terlibat untuk menjaga kepatutan dan kepantasan, menghormati orang lain sebagai bentuk penghormatan terhadap diri sendiri, serta untuk menenggang perasaan banyak orang yang menyaksikan proses komunikasi tersebut. Mari kita kembalikan esensi komunikasi sebagai sarana untuk berbagi!
Forum Jurnalis Muslim mengajak masyarakat untuk lebih bijak dan cerdas dalam menerima dan menyerap informasi. Tidak asal telan, tapi meneliti lebih dulu kebenarannya. Begitu juga dengan insan jurnalis agar tidak menuhankan rating, memuaskan syahwat dengan menyajikan berita sensasi, tanpa menuntun kebenaran.
Jadikan informasi sebagai sesuatu yang bermanfaat, inspiratif, mengokohkan kebenaran, mengedukasi masyarakat, menuntun kebaikan yang pada akhirnya menuai maslahat, bukan mudharat. Inilah jalan dakwah bagi Jurnalis Muslim. (desastian)