Pak, Semangatmu Luar Biasa

DEPOK – Mungkin tidak sebesar pasar tradisional pada umumnya, dikelilingi pusat perbelanjaan dan bangunan-bangunan megah di Depok, nyatanya tidak membuat Pasar Kemiri Muka tersisih dan dilupakan pembeli yang ramai khususnya saat dini hari. Setiap hari ratusan sampai ribuan pembeli datang untuk membeli berbagai kebutuhannya yang tersedia di pasar.

Tak sedikit yang menggantungkan kehidupannya di Pasar Kemiri Muka. Cahyono (52) contohnya, ia sudah 23 tahun berjibaku dengan becek, bau tak sedap, dan sampah sayuran setiap harinya sangat mencintai tempat ini sampai rela menghabiskan sisa hidupnya untuk berjualan sayur dan berbagai bumbu dapur di pasar tradisional ini.

Sebelumnya Cahyono bekerja di sebuah rumah makan di daerah Fatmawati namun itu semua belum bisa menutupi kebutuhan ke-4 anak – anaknya yang masih duduk dibangku sekolah. Pernah ia mencoba peruntungan untuk membuka Warung Tegal, mungkin ini akan sukses terlebih Pak Cahyono memang orang Tegal asli. Tapi apa? Kebutuhan perut sudah mengubah manusia menjadi seperti binatang buas yang menghalalkan segala cara untuk mengalahkan musuhnya, “Aku bangkrut,” ujar Cahyono dalam keheningan malam.

Semenjak itu ia lebih memilih berjualan sayur dan berbagai bumbu dapur yang ia pasok sendiri dari sebuah agen di Bogor. Sudah berjalan hampir 23 tahun walaupun keuntungan tidak seberapa, selagi masih bisa mencukupi kebutuhan sehari – hari Pak Cahyono sangat berterima kasih kepada Si Empunya Semesta.

Selama 23 tahun ia bangun tengah malam menyiapkan bahan – bahan yang akan dijual esok paginya, selama 23 tahun setiap pukul 1 dini hari ia keluar rumah menembus dinginnya malam bersama istri tercintanya hanya untuk mencari sesuap nasi. Anak – anak yang juga penghasilannya tak seberapa membuat Pak Cahyono rela melakukan itu semua selama 23 tahun. Siang ia jadikan malam, malam ia jadikan siang selama 23 tahun, waktu yang lama untuk seorang yang berumur 52 tahun seperti Pak Cahyono. Pak, begitu hebat semangat dan perjuanganmu.

Mungkin dari situ ia tidak begitu mementingkan kesehatannya, yang ia pikirkan hanya ia harus bisa mencukupi kebutuhan keluarga. 3 tahun belakangan ini Pak Cahyono sakit, mengidap diabetes, awalnya hanya luka kecil dan ia menganggapnya biasa. Lambat laun luka itu semakin besar dan membusuk, faktor ekonomi yang membuatnya mengurungkan niat untuk memeriksanya. Atas bujukan istri dan pinjaman uang dari sanak saudara akhirnya Pak Cahyono berobat di salah satu rumah sakit. Penanganan yang lamban membuat kaki kanannya di amputasi, sedih? Pasti! Terus ia bisa apa? Marah? Marah dengan siapa? Tuhan? Ah! Dia sudah terlalu baik kepada setiap umat-Nya, “Mungkin ini hukumanku karena tidak menjaga kesehatanku” tuturnya.

Setelah ia keluar dari rumah sakit ia tetap membantu istrinya untuk berjualan di Pasar Tradisional kesayangan Pak Cahyono itu. Tidak ada yang berbeda ia masih keluar malam untuk merapihkan dagangannya, hanya saja kini ia berjalan dengan 2 tongkat yang menopang kakinya. Kini ia benar – benar menggantungkan kehidupannya di tempat ini. Sampai detik ini ia masih berjualan di pasar tradisonal, “Mau apa lagi? Aku sudah tua, ini saja sudah sangat mencukupi kebutuhanku tak perlu apa apa lagi, berharapun enggan” lirihnya. Pak, semoga semua usahamu selama ini tidak akan mengkhianati hasil.

Sampai detik ini Pasar Kemiri Muka masih menjadi penyambung hidup keluarganya. Pasar Tradisonal yang jauh berbeda dengan pusat perbelanjaan yang bersih, wangi, dan terlidungi dari terik matahari juga rintik hujan. Meskipun demikian, di sanalah Pak Cahyono bisa menghidupi keluarga. Jangan hina pasar tradisional kesayanganku ini, jangan lupakan tempat ini karena di sana masih ada Pak Cahyono dan kawan – kawannya yang mengadu nasib, menggantungkan secercah harapan kehidupan di tempat ini. Jaga Pasar Tradisonal, karena ada banyak pengharapan di sini.

Adinda Githa Murti Sari Dewi