#NyalaUntukYuyun, Ketika Kita Adalah Yuyun

2122426yuyun780780x390

Yuyun, gadis kecil berusia 14 tahun, baru pulang sekolah dan melintasi kebun karet di daerah Lembak, kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu ketika sejumlah pemuda menggodanya. Ia tidak menggubrisnya. Ketika salah seorang pemuda menarik tangannya Yuyun masih bisa menepisnya. Tapi ketika empat pemuda lainnya menyeretnya ke kebun karet, ia tak kuasa melawan. Juga ketika sepuluh orang lainnya merobek seragam pramuka yang dikenakannya, mencekik lehernya dan menghantamkan sebatang kayu ke kepalanya.

Pun ketika 14 pemuda memperkosa gadis kecil itu secara bergantian dengan biadab lalu membuangnya ke jurang. Mayatnya ditemukan beberapa hari kemudian dalam keadaan nyaris membusuk. Visum dokter menunjukkan penganiayaan seksual yang mengerikan.

Dua belas dari 14 pelaku pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun sudah ditangkap polisi dan siap diajukan ke pengadilan. Apakah berarti persoalan sudah selesai?

Inilah pertanyaan yang muncul di media sosial setelah sejumlah pengguna mengungkapkan kegelisahannya terkait kasus Yuyun.

Pengaruh miras diyakini memicu ke-14 pelaku melakukan tindakan yang luar biasa biadab, di luar akal sehat, dan menginjak-nginjak rasa kemanusian kita.

“Kalau sudah di bawah pengaruh miras, akal sehat dan nurani hilang. Makanya jangan heran kalau ada anak tega bunuh orang tua atau orang tua tega bunuh anak, karena pengaruh miras,” ujar Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Miras (Genam) Fahira Idris, di Jakarta (3/5).

Menurut Fahira, secara akal sehat, anak di bawah umur tidak akan punya pikiran dan keberanian untuk membunuh, tetapi saat dibawah pengaruh alkohol naluri melakukan kejahatan muncul. Penelitan yang pernah dilakukan Pusat Kajian Kriminologi UI dan Genam tahun 2013 terhadap 43 responden narapidana anak menemukan fakta bahwa dari 43 responden, 15 di antaranya meminum alkohol saat melakukan pembunuhan.

“Bayangkan, di kasus Yuyun ini, ada pelaku anak di bawah umur yang tega memerkosa berkali-kali hingga korbannya meninggal dan mayatnya dibuang ke jurang. Kalau tidak di bawah pengaruh miras, mereka tidak akan sebiadab itu. Saya tidak tahu, sampai kapan kita semua sadar bahwa miras itu bencana,” tambah Fahira.

Kejahatan yang selalu terulang.

Kasus Yuyun bukanlah yang pertama yang merobek-robek rasa kemanusiaan kita. Masih kuatnya stigma bahwa kekerasan seksual terjadi disebabkan karena kesalahan korban, bukan pelaku, akan selalu membuat kejahatan ini kembali terulang dari masa ke masa.

Demikian yang diyakini Sophia Hage, direktur kampanye kelompok penyintas kekerasan seksual Lentera Indonesia

Sering dalam kasus perkosaan, orang lebih berfokus pada apa yang dipakai korban saat itu. Lalu mengapa dia pulang malam atau mengapa orang tuanya tidak bisa mendidik anak perempuannya dengan baik, kata Sophia yang mendirikan Lentera Indonesia bersama Wulan Danoekoesoemo.

“(Karena itu) orang lebih menyalahkan korban dan sistem dukungan di sekitar korban, dari pada mempertanyakan tindakan kriminal pelaku.” ujarnya.

Victim blaming, atau kecenderungan masyarakat menyalahkan korban kekerasan seksual inilah yang membuat banyak perempuan enggan melaporkan kekerasan yang dialaminya.

“Kasus Yuyun ini adalah cerminan. Ujung dari gunung es, karena lebih dari 75% kekerasan seksual tidak terlaporkan,” katanya.