
Ini cerita tentang seseorang yang aku kenal. Tentang seorang ibu rumah tangga yang sudah diuji dari awal keluarga kecilnya dibangun. Saat awal pernikahannya, ia sebenarnya tidak mendapat restu dari kedua orang tua suami. Sedih ya, ia dan suaminya bahkan hanya diberikan satu buah kasur kapuk untuk membangun keluarga kecilnya.
Perjalanan hidupnya dengan sang suami penuh dengan jungkir-balik. Dulu, suaminya memulai semuanya dari nol. Sebelum suaminya menjadi pegawai negeri sipil (PNS) seperti sekarang, suaminya pernah bekerja sebagai supir truk, kenek bus, dan kedi di golf. Baru setelah 3 tahun berlalu, suaminya pun menjadi PNS. Sebelumnya juga, suaminya pernah ditipu di dunia investasi yang membuat barang-barang di rumahnya di sita, bahkan sampai cicin pernikahannya.
Sepuluh tahun kemudian, saat karier suaminya sedang stabil, ia kembali diuji. Ia harus mendapati suaminya tergoda wanita lain, bahkan sampai dinikahi. Ia mengetahui hal itu setelah 3 bulan. Awalnya, ia curiga melihat tingkah aneh suaminya di telpon. Ia dan anak pertamanya membuktikan hal tersebut. Keduanya akhirnya tau setelah mendapati telpon dari wanita lain itu.
Setelah dipaksa mengaku, suaminya pun mengakui semuanya. Detik itu juga, suaminya menceraikan istri keduanya lewat telpon, ditalak. Suaminya memohon ampun kepadanya dan kepada ke-3 anak perempuannya. Suaminya berjanji untuk tidak mengulang hal yang sama. Hal yang tak kalah menyesakan baginya adalah ketika ia tahu bahwa mertua dan adik iparnya mengetahui perihal perselingkuhan itu. Mereka bahkan menyuruh suaminya untuk lebih menceraikan dia daripada wanita itu. Ia pun sadar bahwa restu mertuanya belum ia dapat sampai saat itu.
Keluarganya mulai tenang kemudian.
Tidak ada lagi perselingkuhan, atau itulah yang ia pikir, sampai suaminya tenggelam kegelapan. Suaminya terjerumus pergaulan, mengkonsumsi narkoba, judi, dan lagi-lagi tergoda wanita-wanita di tempat karokean. Akibat 3 hal tersebut, keadaan ekonominya jatuh sampai anak pertamanya terpaksa putus kuliah.
Sekitar 2 tahun suaminya mengkonsumsi narkoba. Suaminya berhenti karena paksaan, paksaan polisi. Suaminya ditangkap di kantor, setelah teman-teman suaminya tertangkap basah sedang pesta narkoba.
Ratusan juta dikeluarkan saat itu. Hasil pinjam sana-sini, ngemis sana-sani untuk bayar jaksa agar mendapat permohonan rehabilitas. Setelah 6 bulan suaminya di penjara, setelah membayar biaya 150 juta, suaminya berhasil keluar dengan kewajiban rehabilitas. Ia tidak ingin membagi banyak cerita soal kejadian itu, pahit katanya. Meski suaminya bebas pun, ekonomi keluarganya belum pulih.
Hukuman karena memakai narkoba juga diterapkan di tempat kerja suaminya. Suaminya belum bisa kembali bekerja sampai sekarang. Hasilnya, bantuan dari keluarga yang ia andalkan saat ini. Anak-anaknya pun ikut membantu, mereka bertiga mendapat pekerjaan sampingan untuk mendapat uang jajan sehari-hari.
Walaupun, ujian selalu ada untuknya. Ia selalu mengambil hikmahnya. Katanya, mertua, adik-adik iparnya sekarang bahu-membahu membantu biaya kehidupannya. Membantu uang jajan, uang makan, bahkan uang pendidikan anak-anaknya. Adik iparnya yang memiliki penghasilan lumayan, ikhlas membiayai pendidikan anaknya. Adik iparnya bahkan bertanggung jawab dalam biaya pendidikan anaknya setiap semesternya. Baginya, itu sudah lebih dari cukup. Suaminya bahkan sekarang menguatkan imannya. Rajin sholat, puasa Senin-Kamis yang tak pernah putus, dan selalu berusaha membuat anak-anaknya tertawa. Tidak, tidak ini sudah lebih dari cukup.
Dalam kisahnya, banyak hal yang bisa dipetik. Ia memperlihatkan bahwa tidak perlu takut oleh hidup, tidak menyerah dalam segala situasi, dan yang paling utama selalu mengambil sisi positif kehidupan tanpa perlu menghakimi. Harus sadar bukan hanya kita yang mengalami masalah, banyak, bahkan banyak yang lebih buruk.
Ia, seseorang yang aku panggil tante…
Penulis :
Eronika Dwi Pinara
Politeknik Negeri Jakarta
Prodi. Penerbitan (Jurnalistik)