DEPOKPOS – Selama ini publik hanya mengenal penulis dan budayawan Betawi seperti Ridwan Saidi, Firman Muntaco (alm) dari se-generasinya . Padahal kini sudah lahir regenerasi yang melanjutkan cita-cita pendahulunya dalam mengembangkan khazanah sastra dan budaya Betawi. Salah satu generasi itu adalah Chairil Gibran Ramadhan (CGR) atau yang akrab disapa Bang Iwang.
Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Ketua Komunitas Cerpen Indonesia, Ahmadun Yosi Herfanda, memuji karya seorang anak muda berpotensi seperti Gibran. “Ditengah kesunyian, sastra yang diusung para penulis berdarah Betawi atau peranakan Betawi diam-diam menyeruak di kancah nasional. Nama seperti Chairil Gibran Ramadhan harus dicatat dalam sejarah sastra Indonesia, khususnya kesusastraan Betawi. Buku berjudul “Kembang Goyang” yang disusunnya adalah bagian dari sejarah itu.”
Dosen dan dan Wakil Ketua Pusake Betawi UNJ, Dr. Sam Mukhtar Chaniago, juga mengaku kekagumannya pada Gibran. “Saya sangat bangga karena ada anak muda Betawi, seperti CGR yang peduli terhadap karya sastra budayanya untuk tersosialisasi lebih luas dalam kancah sastra nasional”
Chairil Gibran Ramadhan (42) lahir dan besar di Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Sudah beberapa tahun ia menjadi warga Depok. Ditemui di kediamannya di Gang Damai 7, Jemblongan, Pancoranmas – Depok, Bang Iwang berharap Pemerintah Kota (Pemkot) Depok lebih memperhatikan dan menyediakan sarana bagi pengembangan budaya Betawi yang ada di Kota Depok.
Meski diakuinya, kesadaran budaya Betawi hanya bisa tumbuh dari nurani kepemilikan orang Betawi itu sendiri, tak bisa dipaksakan oleh “orang luar”, dan tak bisa mengharapkan dari orang luar. maka orang Betawi harus bergerak.
Bermula dari Wartawan
Gibran, alumnus IISIP Jakarta, Jurusan Ilmu Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi (Lenteng Agung) ini pernah menjadi wartawan dan Redaktur Musik sebuah majalah ternama di Jakarta. Ia juga pernah merintis karir menulis cerpen remaja dan sastra sejak 1997, dan tidak pernah bergabung di komunitas sastra manapun.
Banyak tulisannya, khususnya cerpen sastra, yang tersebar di sejumlah media massa, seperti Majalah Horison, Jurnal Sastra, Suara Pembaruan, Kompas, Media Indonesia, Republika, The Jakarta Post, Koran Tempo, Seputar Indonesia, Sinar Harapan, Jurnal Nasional, Riau Pos, Lisa, Nova, Kartini, Femina, Swara Cantika, Annida, Jurnal Perempuan, dan lainnya.
Cerpennya juga tampil dalam antologi tunggal “Perempuan di Kamar Sebelah: Indonesia, Woman, and Violence” (Gramedia, 2012), serta antologi bersama The Lontar Foundation untuk pasar internasional: “Menagerie 5” (ed. Laora Arkeman, 2003) dan “I Am Woman” (ed. John H. McGlynn, 2011).
iwang 5Buku yang memuat cerpennya dalam nuansa Betawi: Sebelas Colen di Malam Lebaran: Setangkle Cerita Betawi (Masup Jakarta, 2008, antologi tunggal), serta antologi bersama: Ujung Laut Pulau Marwah (Temu Sastrawan Indonesia III, Tanjungpinang, 2010), Si Murai dan Orang Gila (DKJ & KPG, 2010), Kembang Goyang: Orang Betawi Menulis Kampungnya ~ Sketsa, Puisi & Prosa ~ 1900-2000 (Firman Muntaco dkk, ed. Laora Arkeman, Padasan, 2011), Ibu Kota Keberaksaraan (The 2nd Jakarta International Literary Festival, 2011), Antologi Sastra Nusantara (MPU VII, Yogyakarta, 2012), Di Seberang Perbatasan: Kumpulan Cerpen Pilihan Riau Pos 2012 (Riau Pos, 2012), dan Embun Pecah di Taman Kota (MPU IX, Jakarta, 2014, Terbaik I).
Selain itu, Gibran juga memberi endorsement untuk novel semi-sejarah “Ini Bukan Perangku” (Dainar Wahid, Bacalah!, 2003), kumpulan cerpen “13 Perempuan” (Yonathan Rahardjo, 2011), dan buku puisi “Langit Pilihan” (Eka Budianta, KosaKataKita, 2012), serta memberi pengantar atau penutup pada sebagian besar buku Penerbit Padasan.
Sastrawan Betawi Muda
Sastarawan senior Eka Budianta pernah meminta Gibran secara khusus menulis esai antologi bersama “Kahlil Gibran di Indonesia” , mengantarkannya berpidato di hadapan dubes Libanon, Libya, Tunisia, Belgia, dan Amerika.
Selain menulis dan menyunting, Gibran juga diminta menjadi juri sastra dan pembicara pada ajang budaya dan sastra (diantaranya bersama Sutardji Calzoum Bachri pada “Temu Sastra Indonesia 2012”, Jakarta, 211112), radio, televisi, FIB-UI, serta mewakili DKI Jakarta pada berbagai ajang sastra, dan diundang guru besar Universitas Riau, Prof. DR. Yusmar Yusuf, untuk membaca puisi bernuansa Betawi pada “Pancur Lagoon Poetry Reading” (Batam, 2012) dan “Helat Budaya Melayu” (Kampar, 2012).
iwang 2Saat ini Gibran yang juga penyayang kucing, masih mengelola Penerbit Padasan, Pemimpin Redaksi “Stamboel: Journal of Betawi Socio-Cutural Studies” (Jakarta), Redaktur “Jurnal Sastra: The Indonesian Literary Quarterly” (Bandung), serta pendiri Betawi Center Foundation dan Forum Betawi Membaca.
Gibran juga sedang menyiapkan Djali-Djali Bintang Kedjora: Setangkle Cerita Betawi (Padasan, 2015, antologi cerpen tunggal kedua berlatar Betawi), Kembang Kelapa: Kumpulan Catatan Budaya ~ Dari Batavia sampai Jakarta (Padasan, 2015, kumpulan esai pertama), dan Pasar Gambir (Padasan, 2016, kumpulan puisi berlatar sejarah dan budaya Betawi).
Pencekalan sejak akhir 2010 dari sebuah lembaga berembel-embel Betawi lantaran otokritik yang sering disampaikannya, tak menyurutkan semangat Gibran untuk terus membawa alam Betawi ke tingkat nasional bahkan dunia dalam bentuk cerpen, esai, dan sesekali puisi.
“Saya bersama Fadli Dzon dan sastrawan lainnya juga sedang menyiapkan buku yang berkaitan dengan kebudayaan,” kata Bang Iwang yang hobi makan Gado-gado dan Nasi Uduk ini. (Adhes Satria)